Wednesday, April 3, 2013

ANTARA TIDUR DAN MATI

Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari”…. (Q.S. al-Baqarah [2]: 259). Ayat di atas berkisah tentang seseorang yang dimatikan oleh Allah selama seratus tahun, yang lalu dihidupkan kembali. Ketika Allah bertanya, orang tersebut masih belum mengerti berapa lama ia dimatikan oleh Allah. Kisah yang hampir serupa digambarkan dalam sekelompok pemuda yang dikejar oleh penguasa dzalim kemudian mereka bersembunyi dalam sebuah gua dan memohon perlindungan kepada Allah. Sesaat kemudian mereka ditidurkan oleh Allah selama kurang lebih 300 tahun. Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu) (Q.S. Al Kahfi [18]: 11-12). Jalinan tulisan dalam artikel ini akan mencoba mengaji rahasia maut, dan juga batas antara tidur dan maut yang nyaris tipis. Maut tetap menjadi sebuah misteri yang belum terungkap hingga saat ini. Konon ada seorang ilmuwan dari Italia yang rela meneguk racun untuk mati sambil menuliskan gejala-gejala yang dialaminya. Sayang, maut mendatanginya sebelum catatan tersebut selesai tertulis. Di sana ia hanya dapat menggambarkan gejala-gejala yang dirasakannya tanpa berhasil menjelaskan hakikat kematian. Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh orang awam tentang manusia yang belum pernah terjawab hingga kini oleh para ilmuwan. Manusia adalah makhluk belum dikenal sebagaimana ditulis Alexis Carel (1873-1944) seorang ilmuwan yang juga dokter berkebangsaan Prancis, peraih Nobel bidang kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown. Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ilmuan menyangkut manusia hanya menjelaskan dari salah satu sisinya. Sebab terdapat wilayah-wilayah dalam diri kita yang sungguh tertutup rapat bahkan sesuatu mengenai Jiwa dan Ruh sekalipun masih ada beberapa pendapat dan pandangan berbeda di kalangan para ulama, bahkan para ilmuan belum mampu mendeteksinya menggunakan mata kepala maupun mendeteksinya dengan berbagai penemuan eksperimennya. Semuanya masih terasa ghaib bagi manusia walau semua itu nyata, baik keberadaanya di pentas bumi, terlebih sesudah kematian. Sejak dulu hingga kini, bukan hanya orang kebanyakan, para ulama dan pakar pun bertanya dan berusaha menemukan jawaban tentang maut. Tidak sedikit juga para filsuf yang tekun membahas hikmah, tetapi ketika berada di pembaringan dan ajal sudah menunggu di depan mata, ia mengeluh karena belum mengenal hakikat hidup. Kalau “hidup” saja belum diketahuinya, bagaimana ia akan mengetahui hakikat yang berada di balik hidup? Konon seorang ilmuwan dan filsuf kenamaan yang terkenal dengan teori evolusinya, Charles Darwin, sempat dituduh atheis dan kafir oleh pihak gereja karena teorinya bertentangan dengan kitab suci, namun ketika meninggal ia meletakkan injil di dadanya. Allah Yang Maha Hidup mengatakan kepada kita bahwa sesungguhnya di dunia ini tidak akan ada yang kekal dan kelak semua pasti akan kembali kepadaNya. Orang yang beriman tidak akan berani mengatakan bahwa dirinya akan kekal abadi selama-lamanya. Keberadaan seorang anak manusia di pentas bumi ini bukan untuk menunjukkan eksistensinya melainkan menunjukkan ketiadaannya dan yang ada hanyalah Allah, Dzat yang kekal abadi tak terbatasi oleh ruang dan waktu, tak terbatasi oleh apapun melainkan diriNya sendiri. Seseorang yang dituduh atheis atau bahkan seseorang yang mengaku dirinya sebagai tuhan sekalipun toh kelak pada akhir hidupnya tidak bisa menyangkal keberadaan serta kekuasaanNya yang ditampakkanNya melalui maut. … hingga ketika Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israel, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Q.S. Yunus [10]: 90). Pembaca yang budiman, kita merasa ada karena ruh masih bersemayam di dalam diri kita. Begitu ruh dicabut, eksistensi kita sebagai manusia ikut lenyap. Jangankan pada saat ruh dicabut, pada saat tidur saja kita sudah tidak merasakan apa-apa, dan tidak punya kendali apa-apa atas diri kita. Eksistensi kita sudah hilang seiring kesadaran yang juga hilang. Masihkah anda merasa ada ketika anda tertidur lelap? Bayangkan, seandainya kita tidak terbangun lagi, maka sesungguhnya kita telah lenyap dari dunia ini. Karena itu, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar berdoa menjelang maupun sesudah tidur, sebab antara tidur dan mati hampir tidak ada bedanya. Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut (dengan namaMu ya Allah aku hidup, dan dengan NamaMu aku mati). Begitulah beliau mengajarkan kepada kita untuk berdoa menjelang tidur karena kita tidak tahu apakah kita bisa bangun kembali ataukah tidak. Maka sebelum tidur kita diajarkan untuk berserah diri kepada Allah yang menguasai jiwa kita. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (Q.S. az-Zumar [39]: 42). Dan ketika terbangun dari tidur, Rasulullah SAW mengajarkan untuk membaca sebuah doa: Alhamdulillaahilladzi ahyaana ba’damaa amaatana wa ilaihi nusyur (segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali sesudah kematianku, dan kepadaNyalah aku kembali). Begitu tipisnya batas antara hidup dan mati. Setiap hari kita ditidurkan oleh Allah beberapa jam. Saat itulah kita telah mencicipi kematian. Itulah saat-saat jiwa kita ditahan oleh Allah. Kita tidak bisa merasakan, mengendalikan apalagi melawan. Ketika rasa kantuk menyerang, itulah saat menjelang ’kematian sementara’ kita. Cobalah anda rasakan, pada saat itu Allah mulai berangsur-angsur menahan jiwa kita. Entah apakah akan dikembalikan ataukah ditahan seterusnya. Sebagian dari pengalaman tidur membuktikan adanya kehidupan setelah kematian, apalgi sesudahnya. Hal ini, diperkuat dengan apa yang diperkenalkan para ilmuwan mengenai mati klinis/ mati suri. Seorang dokter yang juga psikolog dari Amerika, Moody, melakukan analisa dengan mewawancarai lebih dari seratus orang yang pernah mengalami mati klinis. Walaupun informasi mereka dalam rinciannya berbeda-beda, namun pada prinsipnya sama yaitu mereka semua merasakan hal yang sama. Mereka bagaikan keluar dari jasadnya dan melihat tim dokter dan juru rawat sedang bersusah payah mengobatinya untuk ”menghidupkan” mereka kembali, dan ketika dokter tidak berhasil mereka dinyatakan ”mati”. Mereka juga merasakan seolah jiwa mereka membumbung melalui suatu ruang yang gelap serta mendengar aneka suara, sedang di ujung ruang yang gelap itu mereka bertemu dengan makhluk bercahaya yang memperlihatkan kepada mereka rekaman hidup mereka secara detail. Lalu kemudian mereka dinyatakan untuk kembali. Dan setelah kembali, mereka dinyatakan hidup kembali sebagaimana keadaan manusia di pentas bumi ini. Peristiwa mati klinis yang terjadi berkali-kali ini, membuktikan bahwa kematian sama dengan tidur, hanya saja kematian melumpuhkan jasmani manusia, sedangkan tidur tidak demikian. Jika orang berkata bahwa mati sama dengan tidur, maka pastilah mati terasa nyaman. Mengantuk itu nyaman dan yang lebih nyaman dari mengantuk adalah tidur, dan yang lebih nyaman dari tidur adalah mati. Filsuf Jerman, Schopenhauer, yang berpandangan pesimistis melanjutkan, bahwa yang lebih nyaman dari mati adalah tidak wujud sama sekali. Setiap hari kita telah berlatih untuk menemui kematian yang sesungguhnya. Tetapi seringkali kita merasa betapa kematian kita masih begitu jauhnya. Kehidupan anda adalah tarikan nafas yang terhitung jumlahnya. Setiap berlalu sekali tarikan, maka terkurangi pula jumlah bilangannya. Kematian hanyalah berpisahnya badan dengan jiwa dan ruh untuk sementara waktu. Tapi bukan untuk 1-2 jam, melainkan untuk beberapa waktu yang tidak kita ketahui hingga kita bangun dari kematian itu di Hari Kebangkitan. Kejadiannya persis seperti pada saat kita terbangun dari tidur kita sehari-hari. Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya). (Q.S. Yaasiin [36]: 51-52). Akankah kita termasuk orang-orang yang menyesal saat ’dibangunkan’ kembali kelak? ataukah kita termasuk hamba-hamba yang berbahagia? semua itu bergantung kepada bagaimana saat-saat sebelum kita berangkat ’tidur’. Kalau kita termasuk orang-orang yang sudah terlatih untuk memasuki tidur dengan baik, maka insya Allah kita akan bangun kembali dalam keadaan yang bugar dan segar. Tapi kalau kita memasuki saat-saat tidur dengan penuh masalah membelit kehidupan kita, maka sungguh tidur kita akan menjadi mimpi buruk bagi kita. Dan tiba-tiba kita terbangun dalam kondisi sakit dan dada sesak. Celakanya, mimpi buruk itu ternyata menjadi kenyataan pada saat kita terbangun dari tidur panjang itu. Jiwa kita yang terlanjur kotor selama berada di dunia ternyata harus dibersihkan di dalam api yang bernyala-nyala di neraka jahannam. Seperti halnya dikisahkan pada Fir’aun. Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”. (Q.S Al Mu’min [40]: 45-46). Berbeda dengan mereka yang telah melatih dan membiasakan dirinya untuk hidup bersih penuh kedamaian dan cinta kasih. ‘Tidur’ mereka sungguh adalah tidur yang penuh nikmat. Tidurnya para jiwa yang penuh kedamaian (nafs al muthmainnah). Mereka bermimpi indah sepanjang tidurnya yang pulas. Dan di ‘esok harinya’, mereka terbangun dalam kebahagiaan jiwa yang fitri, di surga Jannatun Na’im. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. al-Fajr [89]: 27-30). Wallahualam bissawab dan hanya Allah yang maha Tahu.