ULUMUL QUR’AN & TAFSIR
I. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman / kalam Allah yang merupakan mukjizat, diturunkan berupa wahyu kepada Rasulullah Muhammad saw. dikumpulkan pada satu
mushaf mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Naas dan dinukil kepada kita secara mutawatir, membaca dan mempelajarinya nya merupakan ibadah yang mendapat pahala.
Nama atau sebutan lain bagi Al-Qur’an :
1. Al-Kitab –buku yang tertulis- disebutkan dalam QS Ad-Dukhan, ayat 2 : “Demi Kitab (Al- Qur’an) yang menjelaskan”
2. Adz-Dzikra –peringatan- disebutkan dalam QS Al-Hijr, ayat 9 : “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan adz-Dzikra (Al-Qur’an) dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.
3. Al-Qaul –ucapan- disebutkan dalam QS Al-Qashash ayat 51 : “Dan sesungguhnya telah kami turunkan berturut-turut perkataan ini (Al-Qur’an) kepada mereka agar mereka mendapat pelajaran”.
4. Al-Kalam -firman- disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 6 : “Dan jika diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Kalam Allah (Al-Qur’an), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengerti”.
5. At-Tanzil –yang diturunkan- disebutkan dalam QS Asy-Syu’ara ayat 192 : “Dan sesungguhnya (Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh tuhan semesta alam”.
6. Al-Furqan –pembeda- disebutkan dalam QS Al-Furqan ayat 1 : “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia memberi peringatan kepada seluruh alam”.
7. Ar-Ruh –jiwa- disebutkan dalam QS Asy-Syura ayat 42 : “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami”.
8. Al-Balagh –penyampaian- disebutkan dalam QS Ibrahim ayat 52 : “(Al-Qur’an) ini adalah penyampaian yang cukup kepada manusia supaya mereka diberi peringatan dengan dia”.
9. Al-Basaha’ir –pedoman- disebutkan dalam QS Al-Jatsiyah ayat 20 : “(Al-Qur’an) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini”.
10. Al-Bayan –penerangan- disebutkan dalam QS Ali – Imron ayat 138 : “(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”.
11. An-Nur –cahaya- disebutkan dalam QS An-Nisa’ ayat 174 : “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya (Al-Qur’an) yang terang benderang”.
12. Al-Huda –petunjuk- disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 33 : “Dia lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar”.
Sebutan lain untuk Al-Qur’an yang berupa sifat :
1. Nur (cahaya) QS An Nisa’ : 174.
2. Huda (petunjuk), syifa’ (obat), Rahmat dan Mau’izah (nasehat) QS Yunus : 57.
3. Mubin (yang menerangkan) QS Al-Maidah : 15.
4. Mubarak (yang diberkati) QS Al-An’am : 92.
5. Busyra (khabar gembira) QS Al-Baqoroh : 97.
6. Azis (mulia) QS Fussilat : 41.
7. Majid (yang dihormati) QS Al-Buruj : 21.
8. Basyir (pembawa khabar gembira) dan nadzir (pembawa peringatan) QS Fussilat : 3-4.
Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadis Qudsi :
1. Al-Qur’an adalah mukjizat dan mengandung tantangan kepada seluruh manusia dan Jin yang mereka semua tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Al-Qur’an walau satu ayat pun. Sedangkan hadis qudsi bukan merupakan mukjizat dan tidak mengandung tantangan.
2. Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir dan qoth’i, sedangkan hadis qudsi kebanyakan adalah khabar ahad yang sebatas dzan (dugaan).
3. Al-Qur’an semuanya berasal dari Allah baik makna maupun redaksi lafalnya, sedangkan hadis qudsi maknanya saja dari Allah, sedangkan redaksi lafalnya dari Rasulullah atau dari periwayat hadis.
4. Perlakuan terhadap Al-Qur’an yaitu : dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas kecil, dilarang membacanya bagi yang ber hadas besar, tidak berlaku bagi hadis qudsi.
5. Membaca Al-Qur’an setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca hadis qudsi tidak.
Kandungan Al-Qur’an
1. Doktrin I’tikad dan akidah.
2. Hukum-hukum ibadah, muamalah, munakahat, Uqubat (sanksi)
3. Hukum halal-haram.
4. Janji (khabar gembira) dan ancaman (peringatan).
5. Science Ilmiah.
6. Kisah – kisah.
Pem-Wahyu-an Al-Qur’an
Wahyu adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada salah seorang Nabi/Rasul-Nya, mengenai hukum syariat dan sejenisnya, yang bila tersusun dalam lembaran (luh/mushaf) disebut sebagai kitab suci.
Cara turunnya wahyu kepada Rasulullah :
1. Melalui mimpi yang benar (ru’yah shadiqah)
2. Dihembuskan oleh Malaikat Jibril kedalam hati Rasulullah.
3. Malaikat Jibril menjelma sebagai seorang laki-laki yang menyampaikan wahyu kepada Rasulullah dengan kata-kata.
4. Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dalam bentuknya yang asli (mempunyai 600 sayap).
5. Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dalam bentuk seperti gemerincingnya lonceng. Ini cara penerimaan wahyu yang paling berat, sampai-sampai Rasulullah berpeluh-keringat ketika menerima wahyu berupa gemerincingnya lonceng ini.
6. Allah berbicara secara langsung dari balik tabir (saat Isra’ Mi’raj). Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah : “Dan tiada seorang manusiaa pun Allah akan berbicara kepadanya, kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Dia sungguh Maha Tinggi dan Maha Bijaksana” (QS Asy-Syura [42] : 51)
Semua ucapan Rasulullah adalah kebenaran, jaminan ini didasarkan pada firman Allah :
“Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS An-Najm [53] : 4).
“Katakanlah : ‘Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku” (QS Yunus [10] : 15).
II. Turunnya Al-Qur’an
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil” (QS Al-Baqarah [2] : 185).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Qur’an) pada malam lailatul qodar” (QS Al-Qadr [97] : 1).
“Sesungguhnya Kami menurunkan (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi” (QS Ad-Dukhan [44] : 3)
Ketiga ayat diatas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadr dalam bulan Ramadhan. Tetapi zahir ayat-ayat ini bertentangan dengan kenyataan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an turun kepada Rasulullah tidak selalu dalam waktu malam dan pada malam lailatul qadr dan tidak selalu pada bulan Ramadhan.
Ada 3 (tiga) pendapat tentang cara turunnya Al-Qur’an :
Pertama : Pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan Al-Qur’an diturunkan secara langsung dari Lauhful Mahfudz ke Baitul Izzah (langit dunia) secara sekaligus pada malam lailatul qadr di bulan Ramadhan, kemudian sesudah itu Al-Qur’an diturunkan dari Baitul Izzah kepada Rasulullah secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun.
Kedua : Pendapat Asy-Sya’bi, seorang tabi’in besar, guru Imam Abu Hanifah. Yang dimaksud Al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadr yang diberkahi pada bulan Ramadhan adalah permulaannya saja, kemudian turunnya itu berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selama kurang lebih 23 tahun
Ketiga : Pendapat sebagian mufasirin, Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia selama 23 malam lailatul qadr pada masing-masing tahun. Jadi pada satu malam lailatul qadr diturunkan Al-Qur’an untuk masa genap satu tahun, demikian seterusnya tiap tahun sampai kurang lebih 23 tahun.
Pendapat pertama dan kedua dapat dikompromikan dan pendapat inilah yang dianut oleh jumhur ulama.
Hikmah turunnya Al-Qur’an secara bertahap :
1. Menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah.
2. Mukjizat dan tantangan
3. Mempermudah hafalan dan pemahaman.
4. Kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pentahapan penerapan hukum.
5. Membuktikan Al-Qur’an datang dari sisi Allah. Selama rentang waktu turunnya Al-Qur’an yang begitu panjang tetap ditemui keserasian dan keterkaitan antar ayat-ayatnya dan tidak ditemukan pertentangan sedikitpun didalamnya.
Ayat yang pertama kali diturunkan :
1. Ayat yang pertama kali diturunkan di Makkah adalah surat Al-Alaq [96] dan yang pertama kali diturunkan di Madinah adalah surat Al-Baqarah [2].
2. Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai peperangan adalah surat Al-Haj [22] ayat 39.
3. Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai khamr adalah surat Al-Baqarah [2] ayat 219.
4. Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai sajdah (sujud tilawah) adalah surat An-Najm [53].
5. Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai mengatur makanan di Makkah adalah surat Al-An’am [6] ayat 145.
6. Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai mengatur makanan di Madinah adalah surat Al-Baqarah [2] ayat 173.
Ayat yang terakhir kali diturunkan :
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai ayat mana yang terkahir diturunkan, diantaranya :
1. An-Nisa’ [4] ayat 176 tentang kalalah, berdasarkan atsar dari Barra’ Bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim.
2. Al-Baqarah [2] ayat 278 tentang riba, berdasarkan atsar dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhary.
3. Al-Baqarah [2] ayat 281, berdasarkan atsar dari Ibnu Abbas dan Sa’id Bin Jubair yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan lain-lain.
4. Al-Baqarah [2] ayat 282 tentang menuliskan hutang, berdasarkan atsar dari Sa’id Bin Al Musayyab.
5. At-Taubah [9] ayat 128, berdasarkan atsar dari Ubay Bin Ka’ab dalam kitab Al-Mustadrak
6. Ali ‘Imran [3] ayat 195, berdasarkan atsar dari Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih.
7. An-Nisa’ [4] ayat 93 tentang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, berdasarkan atsar dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhary dan yang lain.
Pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti jumhur ulama adalah empat pendapat yang pertama.
III. Sejarah Pembukuan Al-Qur’an
i. Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah ayat Al-Qur’an yang turun dihafal oleh beliau “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya” (QS Al-Qiyamah [75] : 17-18). Oleh karena itu beliau merupakan hafidz (penghafal) Al-Qur’an yang pertama dan maha guru pemberi contoh panutan paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Dalam sahih Bukhary dalam tiga riwayat disebutkan ada tujuh hafidz dari kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an, yaitu :
1. Abdullah bin Mas’ud
2. Salim Bin Ma’qal maula Abu Huzaifah.
3. Mu’az Bin Jabal.
4. Ubay Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda’.
Ke-tujuh penghafal Al-Qur’an diatas adalah para sahabat yang hafal Al-Qur’an diluar kepala yang menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi dan sanadnya sampai kepada kita melalui riwayat Bukhary. Sedangkan kenyataannya setelah Rasulullah wafat, jumlah penghafal (hafidz) Al-Qur’an dikalangan sahabat terus bertambah. Untuk melukiskan hal itu dapat diketahui dari keterangan Al-Qurtubi : “Telah terbunuh tujuh puluh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu dalam peristiwa pembunuhan di sumur Maa’unah”.
Rasulullah telah mengangkat beberapa penulis Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti : Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila ayat Al-Qur’an turun beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut didalam surat, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati (diluar kepala). Disamping itu sebagian sahabat menuliskan ayat Al-Qur’an yang turun itu dengan kemauan sendiri tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskan ayat Al-Qur’an pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit binatang atau kulit kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Dalam Al Mustadrak, Hakim meriwayatkan bahwa Zaid Bin Tsabit berkata : “kami menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada kulit binatang” (sanad sahih menurut syarat Bukhary dan Muslim).
Pada masa Rasulullah Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf, karena pada masa kenabian wahyu masih turun dan Rasulullah masih selalu menanti turunnya ayat Al-Qur’an, disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang nasikh (dihapus). Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi, yaitu beliau menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Al-Khattabi berkata : “Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf karena beliau senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya”.
ii. Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq ra.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah. Saat itu hampir seluruh kabilah-kabilah Arab kembali murtad dan sebagian membangkang menolak membayar zakat, karena mereka mengira kekuatan Islam sudah pudar setelah meninggalnya Rasulullah. Untuk mengatasi kemurtadan dan pembangkangan khabilah-khabilah Arab itu Khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukan untuk menundukkan mereka dan menyeru kembali kepada Islam yang dikenal sebagai “perang ridah”.
Disamping itu di daerah Yamamah –Arab Selatan- muncul Musailamah Al-Khazab –sang pendusta- yang mengaku sebagai nabi. Khalifah Abu Bakar memeranginya yang dikenal sebagai “perang Yamamah”. Pada berbagai peperangan-peperangan tersebut banyak qari dan pengahafal Al-Qur’an dari kalangan sahabat nabi yang gugur. Umar Bin Khattab yang merupakan penasehat utama Khalifah Abu Bakar merasa khawatir Al-Qur’an akan punah bersama banyaknya qari yang gugur tersebut. Umar Bin Khattab mengusulkan agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf.
Mula-mula Khalifah Abu Bakar menolak usulan itu dengan alasan hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah dan hal itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah. Tetapi Umar terus membujuk Khalifah Abu Bakar tentang perlunya pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan umar tersebut. Khalifah Abu Bakar kemudian memanggil Zaid Bin Tsabit dan memerintahkannya untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Zaid Bin Tsabit berkata : “Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ?” Abu Bakar menjawab : “Demi Allah, itu baik”, Abu Bakar terus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku”.
Maka Zaid Bin Tsabit mulai bekerja mengumpulkan tulisan manuskrip Al-Qur’an dengan sangat teliti dan hati-hati. Zaid Bin Tsabit meneliti hafalan pemilik catatan Al-Qur’an dan mensyaratkan harus ada 2 orang saksi yang menyaksikan bahwa tulisan manuskrip Al-Qur’an itu ditulis dihadapan Rasulullah, padahal Zaid Bin Tsabit sendiri sudah hafal seluruh Al-Qur’an diluar kepala. Dengan kerja keras, teliti dan hati-hati akhirnya seluruh Al-Qur’an berhasil dikumpulkan dalam satu mushaf dengan “tujuh huruf”.
Setelah Abu Bakar wafat, Mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah penggantinya yaitu Umar Bin Khattab. Setelah Khalifah Umar meninggal, Mushaf tersebut disimpan oleh Hafsah Binti Umar.
C. Masa Khalifah Usman Bin Affan ra.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar kaum muslimin telah melakukan penaklukan ke negeri-negeri diluar jazirah Arab seperti, Syam, Iraq, Persia dan Mesir. Pada masa Khalifah Usman penaklukan masih terus berlangsung.
Ketika terjadi perang penaklukan Armenia dan Azerbaijan, diantara mujahidin yang ikut menyerbu itu adalah sahabat nabi Huzaifah Bin Al-Yaman. Beliau melihat banyak perbedaan diantara pasukan kaum muslimin dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan bersikukuh berpegang pada bacaannya masing-masing dan bahkan sempat saling berselisih dan saling mengkafirkan.
Riwayat dari Anas, Huzaifah berkata kepada Usman : “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (masalah kitab suci) sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani”.
Atsar dari Abu Qalabah berkata : “Pada masa kekhalifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat kepada seseorang dan guru yang lain juga mengajarkan qiraat yang berbeda kepada anak yang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat ini pada suatu ketika bertemu dan berselisih dan hal itu menjalar juga sampai kepada guru-guru mereka”. Hal itu akhirnya sampai terdengar kepada Khalifah Usman, maka ia berpidato : “Kalian yang ada dihadapanku teah berselisih paham dan salah dalam membaca Al-Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf pedoman) saja !”.
Khalifah Usman kemudian meminjam mushaf yang ada pada Hafsah binti Umar dan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’id Bin Ash dan Abdurrahman Bin Haris untuk menyalinnya. Usman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu : “Bila kalian berselisih pendapat dengan Zaid Bin Tsabit tentang sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy”. Merekapun bekerja menyalin Mushaf Abu Bakar menjadi beberapa mushaf. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Khalifah Usman mengembalikan mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya Khalifah Usman mengirimkan kesetiap wilayah, masing-masing satu mushaf dan memerintahkan agar semua manuskrip Al-Qur’an yang lainnya dibakar.
Ketika penyalinan mushaf telah selesai, Khalifah Usman menulis surat kepada semua penduduk daerah yang isinya : “Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapus apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu”.
Uraian diatas menunjukkan bahwa penyalinan mushaf pada masa Khalifah Usman ditulis dengan “satu huruf” yaitu sesuai dengan dialek Quraisy dan meninggalkan “enam huruf” yang lainnya, hal itu untuk keseragaman dan menghindari perselisihan. Mushaf Usmani inilah yang kemudian dinukil turun temurun secara mutawatir sampai kepada kita sekarang ini.
Tertib Ayat dan Surah
Tertib susunan ayat Al-Qur’an menurut jumhur adalah taufiqi (ketentuan dari Allah) bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun Mushaf Al Qur’an. As Suyuthi berkata : “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini ditempat anu.”
Mengenai tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang mempunyai mushaf pribadi yang berbeda tertib susunan surahnya dengan tertib surah mushaf Usmani. Mushaf Ali disusun berdasarkan urutan nuzulnya, Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dari surah Al-Baqarah tanpa surah Al-Falaq dan An-Naas. Mushaf Ubay Bin Ka’ab dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’ kemudian Ali-‘Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian sahabat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma’ (sepakat) adalah tertib susunan surah mushaf Usman yang dikerjakan secara resmi oleh panitia khusus yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan. Tentang tertib susunan surah Al-Qur’an, jumhur ulama mengatakan bahwa tertib susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud, Al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Malakikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa yang telah dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya Nabi membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an itu taufiqi kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas : “Aku bertanya kepada Usman : ‘Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katagori masani dan Bara’ah (At-Taubah) yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun meletakaannya pada as-sab’ut tiwal (tujuh surat panjang) ?’, Usman menjawab : ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa penulis wahyu dan mengatakan : ‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu dan anu.’ Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengirabahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmaanirrahim sera aku meletakkan pula pada as-sab’ut tiwal.
Surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an
1. At-Tiwal : adalah tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu : Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf , ketujuh : Al-Anfal dan At-Taubah sekaligus, sebagian ada yang mengatakan yang ke-tujuh surah Yunus.
2. Al-Mi’un : yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratur atau sekitar itu.
3. Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih bnayak dari At-Tiwal dan Al-Mi’un.
4. Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Hujarat. Dinamai Mufassal karena banyaknya pemisahan fasl (pemisahan) dinatara surah-surah tersebut dengan basmallah. Mufassal dibagi menjadi tiga :
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari surah Qaf atau hujurat sampai dengan ‘Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah terakhir (An-Naas).
Rasm Usmani
Yang dimaksud dengan rasm Usmani adalah bentuk tulisan (khot) Al-Qur’an hasil kerja beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia penyalin mushaf Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas penunjukan Khalifah Usman. Mengenai penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani ini ada beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Usmani adalah taufiqi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an. Ini pendapat Ibnul Mubarak dan gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Usmani bukan taufiqi, tapi cara penulisan yang diterima dan menjadi Ijma’ umat dan wajib menjadi pegangan seluruh umat dan tidak boleh menyalahinya.
3. Rasm Usmani hanyalah istilah dan tatacara. Tidak ada dalil agama yang mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan Al-Qur’an yang menyalahi rasm Usmani.
I’jam (penambahan tanda titik, dll) Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga tidak memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam sudah menyebar keluar jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik, harokat dan lain lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal ini adalah Abul Aswad Ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm Usmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik : fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf dan itulah yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah fathah adalah dengan tanda sempang diatas huruf, dammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa (double). Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwain tidak diberi tanda apa apa ketika idgam dan ikkhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah; keculai huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud : “Bersihkan Al-Qur’an dan jangan dicampuradukkan dengan apapun”. Al-Halimi mengatakan : “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan, nama-nama surah dan bilangan ayat dalam mushaf” sedangkan pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan untuk mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Al Hasan dan Ibnu Sirin keduanya mengatakan : “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf”. Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf”. An-Nawawi mengatakan : “Pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf daru kesalahan dan penyimpangan (pembacaan)”. Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf
Nash-nash sunah cukup banyak yang mengemukakan hadis mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah berkata : ‘Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahnya kepadaku sampai tujuh huruf’”.
Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.’ Beliau menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.’ Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf.’ Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka benar.’”
Hadis-hadis berkenaan dengan Al-Qur’an dengan tujuh huruf sangat banyak. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf, diantaranya :
1. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang sama, yaitu bahasa suku Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Sebagian memasukkan Asad, Rabi’ah, Sa’d. Pendapat ini maksudnya satu kata boleh dibaca berbeda menurut dialek masing-masing kabilah diatas selama maknanya masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Qur’an diturunkan, yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Bedanya dengan yang pendapat pertama adalah bahasa Al-Qur’an mencakup dari tujuh bahasa diatas yang paling fasih dan berterbaran di seluruh Al-Qur’an
3. Tujuh wajah, yaitu : amr (perintah), hanyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan amsal (perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu ikhtilaf dalam : asma’ (kata benda), i’rab (harakat akhir kata), tasrif, taqdim (mendahulukan), ibdal (penggantian), penambahan-pengurangan dan lahjah (tebal-tipis, imalah-tidak imalah, idhar dan idgam).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti oleh jumhur ulama.
Hikmah Al-Qur’an dengan tujuh huruf :
1. Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilah mempunyai dialek masing-masing.
2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab yang mana seluruh orang Arab pada khususnya ditantang untuk membuat satu surah saja yang seperti Al-Qur’an, ternyata seluruh orang Arab tidak mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberi peluang penyimpulan hukum yang berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan hukumdan ijtihad ber hujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
IV. Ijaz (Kemukjizatan) Al-Qur’an
Kata mukjizat berasal dari kata ‘ajaz (lemah).I’jaz dapat diartikan mukjizat, hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. I’jazul Qur’an adalah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki Al-Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia, baik secara terpisah maupun berkelompok-kelompok, untuk bisa mendatangkan minimal yang menyamainya. Kadar kemukjizatan Al-Qur’an itu meliputi tiga aspek, yaitu : aspek bahasa (sastra, badi’, balagah/ kefasihan), aspek ilmiah (science, knowledge, ketepatan ramalan) dan aspek tasyri’ (penetapan hukum syariat).
Muhammad Ali Ash Shabumi dalam kitab At-Tibyan menyebutkan segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an sebagai berikut :
1. Susunan kalimatnya indah.
2. Terdapat uslub (cita rasa bahasa) yang unik, berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab.
3. Menantang semua mahkluk untuk membuat satu ayat saja yang bisa menyamai Al-Qur’an, tapi tantangan itu tidak pernah bisa dipenuhi sampai sekarang ini.
4. Betuk perundang-undangan yang memuat prinsip dasar dan sebagian memuat detail rinci yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia melebihi setiap undang-undang ciptaan manusia.
5. Menerangkan hal-hal ghaib yang tidak diketahui bila mengandalkan akal semata-mata.
6. Tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmiah (ilmu pasti, science).
7. Tepat terbukti semua janji (ramalan) yang dikhabarkan dalam Al-Qur’an.
8. Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan ilmiah didalamnya.
9. Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya
V. Munasabah (Korelasi)
Munasabah adalah ilmu yang membahas korelasi urutan antar ayat Al-Qur’an dan atau antar surah Al-Qur’an. Pengetahuan tentang munasabah akan membantu memahami makna ayat Al-Qur’an. Kadang ditemukan kaitan umum atau khusus diantara ayat-ayat Al-Qur’an baik yang rasional, inderawi maupun imajinatif tanpa mengupas lafazh-lafazh menurut makna peristilahan bahasa maupun pemikiran filosofis. Sebagian besar kaitannya berkisar sekitar sebab dan musabab. Jika ayat-ayat itu tidak saling bertemu, tidak terdapat kecocokan, tentu berhadapan dengan lawannya. misalnya menyebut rahmat setelah azab, menerangkan keadaan sorga dan neraka, mengarahkan hati nurani serta membangkitkan akal pikiran dan memberikan peringatan serta mengutarakan ketentuan hukum.
Ahli tafsir sangat sedikit mengetengahkan soal-soal seperti ini, bukan hanya karena rumit semata, melainkan juga karena persoalannya dipandang oleh sebagian orang sangat tidak dibutuhkan, disamping banyak menguras tenaga dan pikiran.
Orang pertama yang membahas munasabah dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah Abu Bakar An Naisaburi (wafat 324 H). As Suyuthi berkata : “Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk diatas kursi, apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata : “Mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini disamping surat ini ?”. Beliau mengkritik para ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah barudalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap- persesuaian, baik antar ayat ataupun antar surah, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai bapak ilmu munasabah.
Perkembangan selanjutnya munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penulis yang membahas dengan baik masalah munasabah adalah Burhanuddin Al-Biqa’i dalam kitabnya Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar.
Manfaat munasabah dalam memahami ayat Al-Qur’an ada dua yaitu :
1. Memahami keutuhan, keindahan dan kehalusan bahasa.
2. Membantu dalam memahami kutuhan makna Al-Qur’an.
Untuk menemukan korelasi antar ayat,sangat diperlukan kejernihan rohani dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.
VI. Fawatihus Suwar(Pembukaan Surat)
Fawatisus suwar berarti pembukaan surat karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks p-ada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dinamakan dengan ahruf muqatta’ah (huruf-huruf terpisah), karena posisi huruf tersebut menyendiri dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan.
Ibnu Abi Al Asba’ menulis kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini yaitu kitab Al Khaqatir Al Sawanih fi Asrar Al Fawatih, beliau membagi bentuk pembukaan surat dalam Al-Qur’an dalam lima bentuk :
1. Pujian kepada Allah.
2. Huruf muqatta’ah, terdapat dalam 29 surat.
3. Kata seru (ahruhun nida’), terdapat dalam 10 surat.
4. Kalimat berita, terdapat dalam 23 surat.
5. Sumpah, terdapat dalam 15 surat.
Pembahasan yang dilakukan para ulama menunjukkan bahwa pembukaan surat yang berbentuk huruf muqatta’ah sering menimbulkan kontroversi diantara mereka. Sehingga tidak heran apabila huruf-hurf muqatta’ah tersebut sering dikategorikan sebagai ayat-ayat mutasyabihat yang tidak seorangpun mengetahui artinya kecuali Allah. Atau bahkan disebut sebagai salah satu rahasia tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
VII. Qiraat dan Pengajaran Al-Qur’an
Dari segi bahasa kata qira’ah berarti bacaan, masdar dari qara’a. Dari segi istilah, Az-Zaqrani memberikan pengertian qira’ah adalah sebagai suatu mazhab yang dianut oleh seorang qari’ dalam membaca Al-Qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta disepakati riwayat dan sanad-sanadnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pencucapan lafaznya.
Mazhab qira’ah yang terkenal adalah qira’ah sab’ah (tujuh), qira’ah asyarah (sepuluh) dan qira’ah arba’a ‘asyarah (empat belas). Perbedaan ini disebabkan oleh berbedanya kapasitas intelektual dan kapasitas masing-masing sahabat dalam mengetahui cara membaca Al-Qur’an. Hal ini juga berkaitan dengan tulisan Al-Qur’an dalam mushaf Usmani yang belum diberi baris atau tanda baca apapun, sehingga bacaan Al-Qur’an dapat berbeda dari susunan huruf-hurufnya, terutama pada saat wilayah Islam semakin meluas dan para sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an menyebar ke berbagai daerah.
Qira’ah sab’ah (tujuh) adalah qira’ah yang merujuk kepada tujuh imam yang masyhur, yaitu :
1. Ibnu Katsir dari Mekkah, yang nama lengkapnya adalah Abu Ma’bad Muhammad Abdullah Bin Katsir Bin umar bin Zadin Ad-Dari Al Makki (45-120 H). Belajar qira’ah kepada sahabat Nabi Abu Said Bin Abdullah Bin Shaib Al Makhzumi.
2. Imam Nafi’ dari Isfahan (Madinah), yang nama lengkapnya adalah Abu Nu’aim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim Al Laitsi Al Isfahani Al Madani(70-169 H). Belajar qira’ah kepada Zaid bin Qa’qa Al Qurri Abu Ja’far dan Abu Maimunah.
3. Imam ‘Ashim bin Abi nujub bin Bahdalah Al Asadi Al Kufi (wafat 127 H). Belajar qira’ah kepada Sa’ad bin Iyasy Asy Syaibani, Abu Abdurrahman Abdullah bin habib As Salami dan Zir bin Hubaisy.
4. Imam Hamzah dari Kufah, nama lengkapnya adalahAbu Imarah Hamzah bin Habib Az Zayyat Al Fardhi Attaimi (156-216 H). Belajar qira’ah kepada Imam Ashim Imam As Sabi’I Abu Muhammad Sulaiman bin Mahram Al A’mari.
5. Imam Kuzai dari Kufah, nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Fairuz Al Farizi Al Kuzai An Nahwi (119-189 H). Belajar qira’ah pada imam Hamzah dan Imam Syu’bah bin Iyasy.
6. Imam Abu Amr dari Basrah, nama lengkapnya adalah Abu Amr Zabban bin Al A’la bin Ammar Al Basri(70-154 H). Belajar qira’ah kepada Al Baghdadi dan Hasan Al Basri.
7. Imam Abu Amir dari Damaskus, nama lengkapnya adalah Abu nu’aim Abu Imran Abdullah bin Amir Asy Syafi’I Alyas Hubi (21-118 H). Belajar qira’ah kepada Abu Darda’ dan Mughirah bin Syu’bah.
Qira’ah Asyarah (sepuluh) adalah qira’ah tujuh diatas ditambah dengan tiga imam lagi, yaitu :
8. Imam Ya’qub dari Basrah, nama lengkapnya Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al Basri Al Madhrami (wafat 205 H).
9. Imam Khalaf dari Kufah, nama lengkapnya Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Thalib Al Makki Al Bazzaz (wafat 229 H).
10. Imam Ja’far dari Madinah, nama lengkapnya Abu Ja’far Yasid bin Al Qa’qa Al Makhzumi Al Madani (wafat 230 H).
Qira’ah ‘Arba’a ‘Asyarah (empat belas) adalah qira’ah sepuluh diatas ditambah empat imam lagi, yaitu :
11. Imam Hasan Al Basri
12. Imam Ibnu Mahisy
13. Imam Yahya Al Yazidi
14. Imam Asy Syambudzi.
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’ah adalah Imam Abu Ubaid Al Qasim bin Salam (wafat 224 H). Beliau menulis sebuah kitab dengan nama Al-Qira’at yang menghimpun 25 orang perawi.
Kriteria qira’ah yang diterima :
1. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan salah satu mushaf Usmani.
3. Sanadnya sahih.
Bila salah satu syarat dari ketiga syarat diatas tidak dipenuhi maka qira’at nya dinyatakan syadz atau tidak sah dan ditolak.
Faedah perbedaan qira’ah :
1. Mempermudah kabilah-kabilah yang berbeda logat / dialek, tekanan suara dan bahasanya dengan bahasa Al-Qur’an.
2. Membantu dalam penafsiran dan ijtihad, karena perbedaan qira’at itu bisa jadi menjelaskan apa yang mungkin masih global dalam qira’ah lain. Seperti qira’ah Ibnu Mas’ud dalam surah Al Maidah ayat 38 : was-sariqqu wassariqatu faqtha’u aidiyahuma, dalam qira’ah lain dibaca faqtha’u aimanahuma.
3. Menunjukkan terjaga dan terpeliharanya Al-Qur’an dari penyimpangan, padahal Al-Qur’an tersebut mempunyai banyak segi bacaan.
4. Membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an, baik dari segi makna atau lafaznya.
Tajwid
Tajwidul Qur’an adalah ilmu yang membahas cara membaca atau mengucapkan Al-Qur’an dengan baik dan benar, yang meliputi tempat keluarnya (makharijul) huruf, cara berhenti (waqaf), imalah, idgam, idhar, ikfak, iqlab, tarqiq, tafkhim, dsb.
Adab membaca Al-Qur’an :
1. Bersiwak sebelumnya.
2. Mempunyai wudhu.
3. Membaca ditempat yang suci dan bersih.
4. Membaca Ta’awudz sebelum mulai membaca Al-Qur’an
5. Membaca Basmallah pada permulaan awal surah, kecuali surah At-Taubah, sebab Basmallah termasuk salah satu ayat Al-Qur’an.
6. Membaca dengan khusuk, tenang dan takzim.
7. Menghadirkan hati dan meresapi maknanya.
8. Membaca dengan tartil (pelan dan tenang) dan dengan tajwid yang benar.
9. Membaguskan suara.
10. Mengeraskan suara bacaan.
Keadaan suci ketika membaca dan menyentuh Al-Qur’an
A. Membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadats kecil.
Membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadats kecil dengan tanpa menyentuhnya, hukumnya jaiz (boleh). Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menyatakan bahwa “Para ulama tidak berselisih pendapat atau sepakat didalam masalah tersebut.”
B. Membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadats besar (junub).
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid mengatakan : Jumhur ulama mengharamkannya.
Dalam Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq terdapat keterangan : Imam Bukhary, ath-Thabrani, Abu Daud dan Ibnu Hazm membolehkannya.
C. Membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid atau nifas
Hadits Jabir dari Nabi, beliau bersabda :
“Perempuan yang sedang haidh dan nifas tidak (boleh) membaca sesuatu dari Al-Qur’an” (HR ad-Daraquthni).
Hadits lain bersumber dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dengan redaksi yang tidak jauh berbeda dengan hadis Jabir diatas. Dari situ jumhur ulama mengharamkan wanita yang sedang haid atau nifas membaca Al-Qur’an.
Imam Syaukani dalam Nailul Autar berkata : “Kedua hadits itu tidak patut untuk dijadikan hujjah untuk hukum “haram””. (Kedua hadits tersebut masih diperselisihkan ke-sahihannya).
D. Menyentuh Al-Qur’an dalam keadaan ber hadats kecil dan besar.
Dalil yang mengharamkan menyentuh Al-Qur’an dalam keadaan ber hadats kecil maupun besar masih diperselisihkan dan cenderung tidak kuat.
Dari segi untuk ke hati-hatian dan dari adab kesopanan sebaiknya ketika menyentuh dan membaca Al-Qur’an sedapat mungkin dalam keadaan suci dan punya wudhu.
Menerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an
Abu Laits Nashrun bin Muhammad as-Samarqandi dalam kitabnya Bustanul Arifin menyatakan bahwa mengajarkan Al-Qur’an itu ada tiga macam :
1. Mengajarkan Al-Qur’an ikhlas karena Allah semata dan tidak meminta upah.
2. Mengajarkan Al-Qur’an dengan meminta upah.
3. Mengajarkan Al-Qur’an dengan tanpa syarat, jika dikasih upah diterima.
Macam pertama mendapat pahala Allah atas perbuatannya dan yang demikian itu meneladani perbuatan para nabi.
Macam kedua diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama dahulu (mutaqaddimun) menetapkan “tidak boleh”. Sedangkan sebagian ulama kemudian (mutaakhkhirun) menetapkan “Boleh” seperti : Ashnan bin Yusuf, Nashrun bin Yahya dan Abu Nashr bin Salam.
Macam ketiga disepakati “boleh” oleh jumhur ulama.
VIII. Tema-Tema Dalam Al-Qur’an
8.1 Amsal (perumpamaan) dalam Al-Qur’an
Menurut Ibnu Qayyim, Amtsalul Qur’an adalah penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya dan mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang kongkrit.
Macam-macam Amtsal (perumpamaan) dalam Al-Qur’an :
1. Amtsal Musarrahah, ditunjukkan dengan lafazh pemisalan atau sesuatu yang menunjukkan tasbih.
Contohnya : QS Al-Baqarah [2] : 17-20 :
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka ini bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat. …. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”
2. Amtsal Kaminah, yaitu tidak ditunjukkan dengan lafazh permisalan.
Contohnya : QS Al-Baqarah [2] : 68 :
“Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan dari itu “
3. Amtsal Mursalah, kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh tasbih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai permisalan.
Contoh : QS [11] : 81 :
“Bukankah subuh itu sudah dekat” sebagai perumpamaan waktu yang udah dekat.
Kitab yang khusus membahas Amtsalul Qur’an diantaranya Amtsal Al-Qur’an karangan Ibnu Qayyim Jauziah.
8.2. Qasam (sumpah) dalam Al-Qur’an
Bentuk sumpah ada dua, yaitu :
1. Qasam Zahir, yaitu disebutkan kata sumpah, contohnya QS [75] : 1-2 :
“Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”
2. Qasam Mudhmar, yaitu tidak disebutkan kata sumpah didalamnya, contohnya QS [3] : 186 :
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu”
8.3. Jadal (perdebatan) dalam Al-Qur’an
Bentuk dan tujuan perdebatan dalam Al-Qur’an :
1. Membungkam lawan, contoh pada QS at-Tur [52] : 35-43 :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri ) ?. Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu ? Ataukah disisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa ? Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang ghaib) ? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata. Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki ? Ataukah kamu meninta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan utang ? Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentangnya yang lalu mereka menuliskannya ? Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya ? Maka orang-orang kafir itu merekalah yang kena tipu daya. Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah ? Mahasuci Allah dari apa yang mereka sebutkan”.
2. Mengambil dalil penciptaan awal untuk argumen hari kebangkitan, contohnya pada QS at-Tarik [86] : 5-8 :
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan ? Ia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar berkuasa mengembalikannya (menghidupkan sesudah mati)”
3. Membatalkan pendapat lawan dengan bukti kebenaran kebalikannya. Contohnya pada QS al-An’am [6] : 91 :
“Katakanlah siapa yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkans ebagiannya dan kamu sembunyikan sebagian besarnya; padahal telah diajarkan kepada kamu apa yang kamu dan bapk-bapak kamu tidak mengetahuinya ? Katakan lah : Allah-lah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”
4. Menerangkan bahwa sesuatu itu bukanlah alasan hukum, contoh pada QS Al-An’am [6] : 143-144 :
“Delapan binatang yang berpasangan,sepasang dari domba dan sepasang dari kambing. Katakanlah : ‘Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya ? Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar. Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah : ‘Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya ?’ Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu ? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”
5. Mematahkan hujjah lawan, contohnya pada QS Al-An’am [6] : 100-101 :
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu dan mereka berbohong (dengan mengatakan) : bahwasanya Allah mempunyai anak lai-laki dan perempuan, tanpa berdasar ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri ? Dia menjadikan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu”.
8.4. Qishosh (Kisah) dalam Al-Qur’an
Macam-macam kisah dalam Al-Qur’an :
1. Kisah Nabi-Nabi terdahulu, seperti Nabi Nuh, Hud, Ibrahim, Musa, Yusuf, dsb.
2. Kisah person tertentu, seperti Lukman, Dzulqarnain, Ashabul Kahfi, Maryam, dll.
3. Kisah peristiwa-peristiwa, seperti perang badar, perang uhud, perang ahzab, dsb.
IX. Ushul Tafsir
Ushul tafsir adalah cabang dari ilmu ulumul Qur’an yang membahas ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk menafsirkan Al-Qur’an. Ushul tafsir ini adalah bagian dari ulumul qur’an yang paling penting karena sangat erat kaitannya dengan istinbath (penyimpulan hukum) dalam fikih dan penetapan i’tikad (tauhid, akidah) yang benar.
Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan : “Jika ada orang bertanya : ‘Apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka jawabnya : ‘Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Apabila ebgkau tidak mendapatkan penafsirannya pada Al-Qur’an, maka tafsirkanlah dengan sunnah (hadits), karena sesungguhnya ia memberi penjelasan terhadap Al-Qur’an. Apabila tidak engkau temukan tafsirnya dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah, maka merujuklah kepada perkataan-perkataan sahabat Nabi SAW, karena mereka paling mengetahui sesudah Nabi, mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya Al-Qur’an dan situasi ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang benar dari Nabi. Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Al-Qur’an dan sunnah serta tidak ada pula penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujukperkataan tabi’in…”
A. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Metode ini berdasarkan contoh dari Rasulullah. Ketika para sahabat membaca firman Allah :
“Mereka yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanannya dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat kemananan dan mereka mendapat petunjuk” (QS [6] : 82}.
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah : “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kita orang yang tidak menzalimi dirinya sendiri ?” Nabi menjawab : “Tidak seperti yang kalian sangka, kezaliman yang dimaksud adalah syirik. Tidakkah enkau membaca ucapan hamba yang saleh (Luqman) : “Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang sangat besar”. (QS Luqman [31] : 13).
Firman Allah dalam QS Al-Fatihah [1] : 6 :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat”
Siapakah yang dimaksud orang-orang yang diberi nikmat ? maka tafsirnya ada pada ayat Al-Qur’an yang lain, yaitu QS An-Nisa’ [4] : 69 :
“Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-Nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.
B. Tafsir Al-Qur’an dengan sunnah (hadits)
Peran (hadits) Rasulullah terhadap Al-Qur’an :
1. Menjelaskan bagian yang masih global (mujmal).
2. Mengkhususkan (men-takhsis) yang masih umum (‘amm).
3. Menjelaskan arti dan kaitan kata-kata tertentu.
4. Memberikan ketentuan tambahan dari aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an.
5. Menjelaskan nasakh (menghapus) ayat.
6. Menegaskan hukum-hukum yang telah ada.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
“…dan dirikanlah shalat…”
Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).
C. Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan sahabat Nabi (Qaul Sahabi).
Sahabat nabi adalah generasi terbaik yang beriman dan diridloi Allah, bertemu langsung dengan Nabi dan ikut menyaksikan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat dan keterkaitan turunnya dengan ayat yang lain. Mereka mempunyai kedalaman pengetahuan dari segi bahasa, saat bahasa itu digunakan, kejernihan pemahaman, kebenaran manhaj, kuatnya keyakinan, apalagi jika mereka telah melakukan Ijma dalam suatu penafsiran.
Firman Allah dalam QS An-Nur [24] : 31 :
“Hendaklah mereka tidak menampakkan kecantikannya, kecuali apa yang boleh tampak darinya”
Ibnu Abbas menafsirkan yang boleh tampak itu adalah : “wajahnya, kedua telapak tangan dan cincin”
D. Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan tabi’in.
Tabi’in bertemu langsung dengan para sahabat Nabi dan mengambil ilmu dari mereka.
Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang menjadi muridnya adalah : Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah.
Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat Nabi yang lain, diantara muridnya dikalangan tabi’in adalah : Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi muridnya antara lain : ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah Al-Hamazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Sufyan Tsauri berkata : “Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu”.
Berkata Ibnu Taimiyah : “Syafi’i, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada tafsirnya”.
Az-Sahabi berkata : “Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka yang kata-katanya dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir belajar”.
Diantara tokoh-tokoh tabi’in Mujahid merupakan yang paling menonjol dan perkataannya banyak diikuti mufasirin sesudahnya. Tentunya harus diseleksi sanad-sanad atsar yang disandarkan kepada mereka, bila sahih maka layak untuk diikuti.
E. Israiliyyat.
Setelah beberapa ulama Yahudi masuk Islam, seperti : Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul ‘Azis bin Juraij; khabar dan kisah dari kitab-kitab Bani Israil mulai menyebar di kalangan kamu muslimin. Sebagian mufasirin mengutip Israiliyyat ini kedalam kitab tafsir mereka.
Israiliyyat ini dibagi menjadi tiga :
1. Yang sesuai dengan syariat Islam, maka bisa diterima.
2. Yang bertentangan dengan syariat Islam, maka harus ditolak.
3. Yang didiamkan, tidak diterima dan tidak ditolak, sebatas dijadikan wacana.
X. Makkiyah – Madaniyah
Pokok-pokok bahasan ayat-ayat Makki-Madani adalah :
1. Ayat yang diturunkan di Mekkah.
2. Ayat yang diturunkan di Madinah.
3. Ayat yang diperselisihkan turun di Mekkah atau Madinah.
4. Ayat-ayat Makkiyah dalam surah madaniyah.
5. Ayat-ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah.
6. Ayat yang diturunkan di Mekkah tapi hukumya Madaniah.
7. Ayat yang diturunkan di Madinah tapi hukumnya Makkiyah
8. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok Madaniyah.
9. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makkiyah.
10. Yang dibawa dari Mekkah ke Madinah.
11. Yang dibawa dari Madinah ke Mekkah.
12. Yang turun diwaktu malam dan siang
13. Yang turun dimusim panas dan musim dingin.
14. Yang turun ketika menetap (mukim) dan dalam perjalanan (safar).
Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah :
1. Berdarakan waktu, inilah yang paling populer dikalangan mufasirin bahwa telah menjadi kesepakatan dikalangan mereka, bahwa surat atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah adalah Makkiyah, sedangkan yang diturunkan sesudah hijrah adalah Madaniyah. Dalam hal ini tempat bukan menjadi ukuran. Misalnya QS Al-Maidah [5] : 3 adalah Madaniyah meskipun diturunkan di Arafah - Mekkah.
2. Berdasarkan tempat, jika diturunkan di Mekkah (meliputi Mina, Arafah, Hudaybiyah) berarti Makkiyah. Jika diturunkan di Madinah (meliputi Badar dan Uhud) berarti Madaniyah.
3. Berdasarkan Khitab, yaitu seruan yang disampaikan. Jika ditujukan kepada penduduk Mekkah maka Makkiyah. Jika ditujukan kepada penduduk Madinah maka berarti Madaniyah. Klasifikasi ini bermasalah jika seruan tidak ditujukan kepada keduanya.
Ayat Makkiyah dan ciri-cirinya :
1. Setiap surat yang mengandung sajadah.
2. Setiap surat yang mengandung lafazf “kalla”.
3. Setiap surat yang mengandung “ya ayyuhan nas”.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi kecuali surat Al-Baqarah
5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang diawali dengan huruf muqatta’ah kecuali surat Al-Baqarah dan Ali-Imran sedangkan surat Ra’d masih diperselisihkan.
7. Isinya mengajak kepada tauhid, celaan terhadap akidah musyrik dan budaya jahiliyah, khabar surga dan peringatan neraka, kisah para Nabi dan umat terdahulu yang dibinasakan, kata-katanya pendek, singkat tapi membekas dan berkesan.
Ayat Madaniyah dan ciri-cirinya :
1. Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi.
2. Setiap surat yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik, kecuali surat Al-Ankabut .
3. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
4. Surah yang mengandung seruan “Ya ayuhalladzina amanu …”
5. Isinya menjelaskan ibadah, muamalah, hukum dan perundang-undangan, seruan terhadap ahli kitab untuk masuk Islam, menyingkap perilaku orang munafik, ayatnya panjang-panjang dan memantapkan syariat.
Faedah mengetahui Makkiyah – Madaniyah :
1. Mengetahui tempat dan waktu diturunkannya ayat Al-Qur’an, untuk membantu memahami penafsiran yang benar serta analisa nasikh-mansukhnya.
2. Meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode dan tahapan dakwah.
3. Memahami sirah nabawiyah dan periode periode dakwahnya.
XI. Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)
Turunnya ayat Al-Qur’an dibagi menjadi dua macam :
1. Tanpa sebab khusus (ibtida’).
2. Dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa atau adanya pertanyaan.
Untuk mengetahui asbabun nuzul satu-satunya cara adalah melalui riwayat yang dinyatakan oleh para sahabat Nabi. Merekalah orang-orang yang mengerti betul kapan, dimana, kepada siapa dan dalam konteks apa Al-Qur’an diturunkan. Walaupun demikian tidak semua riwayat dinyatakan oleh para sahabat mengenai turunnya Al-Qur’an tersebut dikonotasikan asbabun nuzul.
Adapun mengenai riwayat yang berkaitan dengan asbabun nuzul :
1. Jika ada sahabat yang mengatakan : “Sebab turunnya ayat ini adalah …. “
2. Jika sahabat menceritakan adanya sebuah pertanyaan yang kemudian turun ayat sebagai jawaban atau reaksi dari pertanyaan tersebut.
3. Jika ada indikasi yang kuat (rajih) menunjukkan asbabun nuzul, contoh :
“Rasulullah telah ditanya tentang ini, maka turunlah ayat ….”
4. Jika ada pernyataan sahabat : “Ayat ini diturunkan dalam konteks …..”
Maka itu bisa menunjukkan asbabun nuzul bisa menunjukkan penjelasan / penafsiran sahabat terhadap suatu ayat, jadi masih perlu diteliti.
Bila ada perbedaan riwayat mengenai asababun nuzul suatu ayat maka harus diteliti untuk dipilih mana yang paling kuat (ditarjih) atau kalau masih mungkin dikompromikan.
Contoh study asbabun nuzul :
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 195 :
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungghuhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Ibnul Araby mengatakan, ada lima pendapat menafsirkan At-Tahlukah (kebinasaan), yaitu :
1. Janganlah engkau meninggalkan pemberian nafkah.
2. Janganlah engkau berjihad tanpa perbekalan.
3. Janganlah engkau meninggalkan jihad.
4. Janganlah engkau menggempur pasukan sedangkan engkau tidak mempunyai kekuatan untuk menyerangnya.
5. Janganlah engkau putus asa dari ampunan Allah (karena merasa sudah terlalu banyak dosa).
Imam Ath-Thabari mengatakan : “Maknanya umum mencakup semuanya, tidak kontradiktif satu dengan yang lain”
Imam Syaukani mengatakan : “Yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab (turunnya ayat).”
Maka perlu disampaikan salah satu riwayat (atsar) yang menjelaskan asbabun nuzulnya ayat tersebut, yaitu riwayat Imam At-Tirmidzi dari Yazid bin Abi Habib dari Aslam Abi Imran :
“Waktu kami berada di negeri Romawi (Konstantinopel) sekelompok pasukan Romawi menghadang kami, maka kaum muslimin menyambut mereka dengan pasukan sejumlah mereka atau lebih banyak. Legiun Mesir dibawah komando Uqbah bin Amir dan pasukan lain yang dipimpin Fadhalah bin Ubaid. Seorang tentara kaum muslimin menerjang barisan pasukan Romawi sendirian, melihat itu banyak yang berteriak, ‘Subhanallah ia menjerumuskan dirinya menuju kebinasaan.’ Mendengar itu Abu Ayyub Al-Anshari (salah seorang sahabat Nabi) berkata : “Wahai saudara-saudara, kalian memehami ayat ini dengan penakwilan seperti itu ? Ketahuilah, bahwa ayat ini turun kepada kami kaum Anshar. Ketika Allah memberikan izzah (kejayaan) kepada Islam dan memperbanyak penolong-penolongnya, sebagian kami (kaum Anshar) saling berkata secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui Rasulullah SAW, ‘Ketahuilah, bahwa harta kita sudah habis dan Allah telah memberikan kejayaan kepada Islam dan memperbanyak pendukungnya, apakah tidak lebih baik kita untuk konsentrasi pada harta kita dan kita dapat mengembalikan harta kita yang hilang. Maka Allah kemudian menurunkan ayat ini (QS Al-Baqarah [2] : 195) kepada NabiNya sebagai jawaban kepada kami, arti dari At-Tahlukah (kebinasaan) adalah konsentrasi terhadap harta (niaga, berkebun) dan pemanfaatannya (berfoya-foya) yang berakibat meninggalkan perang (jihad).’ Abu Ayyub Al-Anshari senantiasa berjihad fisabilillah sampai beliau dikebumikan di tanah Romawi (Konstantinopel), kuburan beliau ada disana.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad, lafazh diatas adalah yang terdapat pada riwayat Tirmidzi).
Walaupun ada kaidah “Yang jadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab” paling tidak dari riwayat diatas setidaknya dapat membantu penafsiran yang lebih spesifik yaitu : Janganlah kamu menghentikan ber infaq membelanjakan harta dijalan Allah dan janganlah kamu meninggalkan jihad fisabilillah yang dapat menyebabkan kamu binasa yaitu lemah dan atau dikuasai musuh.
Manfaat mengetahui asbabun nuzul :
1. Mengkhususkan hukum dengan sebab turunnya ayat hukum..
2. Menghilangkan kaburnya pembatas (hashr) atas apa yang lahirnya menunjukkan pembatasan
3. Mengetahui hikmah disyariatkannya hukum.
4. Mengetahui latar belakang disyariatkannya hukum
5. Mengetahui tentang siapa ayat tersebut diturunkan, dan tidak diterapkan kepada orang lain yang tidak semestinya.
Contoh : Ketika Marwam bin hakam menjabat Gubernur Hijaz (Mekkah-Madinah) pada pemerintahan Muawiyah bin Abu Sofyan, Marwan berpidato yang intinya mengajak penduduk Hijaz membaiat Yazid bin Muawiyah sebagai Khalifah sepeninggal ayahnya, Marwan berkata : “ini adalah sunah Abu Bakar dan Umar”. Tiba-tiba Abdurrahman bin Abu Bakar menyahuti : “Itu sunnah Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi)” seraya pergi ke rumah Aisyah (kakaknya). Maka Marwan berkata : “Itulah orang yang dikatakan dalam Al-Qur’an, ‘Dan janganlah kamu berkata kepada ibu-bapaknya : ‘Cis, bagi kamu berdua’ “. Perkataan Marwan itu sampai kepada Aisyah, maka Aisyah membantah dan berkata : “Marwan berdusta, Demi Allah, maksud ayat itu tidaklah demikian, Sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa ayat itu turun, tentulah aku sudah menyebutkannya.”
XII. Kaidah Kalimat Umum Dengan Sebab Khusus
Dikalangan umat Islam berkembang klaim universalitas dan supremasi Islam yang berlaku melampaui dimensi ruang dan waktu, dengan Al-Qur’an sebagai sumber pedoman. Al-Qur’an tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Dari sekian banyak ayat-ayatnya, para ulama menyatakan harus dipahami dalam konteks asbabun nuzulnya, karena ayat tersebut berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan kenyataan tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan turunnya ayat.
Dalam kaitannya dengan asbabun nuzul, sebagian besar ulama berpegang pada kaidah “al ‘ibrahu bi ‘umumil lafzh la bikhususin asbab” (yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab), sedangkan sebagian kecil berpegang pada kaidah kebalikannya, yaitu al ‘ibratu bikhususus sabab la bi ‘umumil lafzh: (yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab bukan pada keumuman lafazh).
Apabila dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan dengan suatu hukum, yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu, sedangkan teksnya bersifat umum, maka ketentuan itu tidak hanya terbatas pada kasus tersebut, tetapi berlaku umum pada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut. Inilah maksud kaidah “yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab”.
Dalam memahami kaidah diatas, pendukung kaidah ini berpandangan bahwa asbabun nuzul pada hakikatnya hanyalah salah satu sarana bantu yang menampilkan contoh untuk menjelaskan makna redaksi ayat Al-Qur’an. Sedangkan redaksi yang bersifat umum itu ruang lingkupnya tidak terbatas pada kasus khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.
Pemahaman semacam ini didasarkan atas kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi, sejak masa turunnya sampai dengan hari kiamat, dalam setiap tempat dan situasi.
Pendapat kaidah ini dipandang rajih (lebih kuat) dan lebih tepat, sesuai dengan umumnya hukum-hukumsyariat dan telah diberlakukan oleh para sahabat dan imam mujtahid. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Contoh penerapan kaidah tersebut dalam memahami ayat yang memiliki asbabun nuzul tertentu, dalam hal ini QS An-nur [24] : 6, adalah sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan kepada istri-istri mereka, sedang mereka tak punya saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu empat kali sumpah (dengan sekali bersumpah) demi Allah, bahwa sungguh dia berkata benar.”
Ayat ini turun berkaitan dengan tuduhan yang dilemparkan Hilal Ibnu Umayyah kepada istrinya, akan tetapi sebagai mana terlihat, bunyi ayat ini bersifat umum. Menurut penganut kaidah “keumuman lafazh bukan ke khususan sebab” dengan demikian ketentuan hukumnya tidak hanya berlaku bagi Hilal saja, tetapi juga berlaku bagi semua orang yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi.
Adapun penganut kaidah “kekhususan sebab bukan keumuman lafazh” lebih menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul)itu, jika qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.
Allah berfirman dalam QS Al-Maidah [5] : 38-39 :
“Adapun mengenai pencuri, laki-laki dan perempuan, potonglah tangannya sebagai hukuman atas perbuatannya, sebagai pelajaran dari Allah. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Tetapi barang siapa bertobat setelah berbuat jahat dan memperbaiki diri, maka Allah akan menerima tobatnya, Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.”
Asbabun nuzul turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Ahmad dan lain-lain yang bersumber dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang wanita mencuri di zaman Rasulullah, kemudian dipotong tangannya yang kanan. Wanita tersebut bertanya, “Apakah diterima tobatku, ya Rasulullah ?” Maka Allah menurunkan ayat berikutnya QS [5] : 39 yang menegaskan bahwa tobat seseorang akan diterima Allah apabila ia memperbaiki diri dan berbuat baik.
Bila saklek berpegang pada kaidah “keumuman lafazh bukan pada ke khususan sebab”maka akan ada kecenderungan memahami ayat tersebut secara tekstual, bahwa ketetapan hukum potong tangan bagi seorang pencuri itu berlaku umum disegala situasi dan tempat, dengan mengabaikan konteks situasi sosial yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut, sehingga relevansi ketetapan hukum kurang mendapat perhatian. Padahal perubahan waktu dan situasi yang meliputi meniscayakan perubahan hukum. Ketika ayat tersebut tidak diterapkan dalam suatu masyarakat, seperti ijtihad Umar bin Khattab pada masanya, tidak memotong tangan pencuri dimasa paceklik, apakah lantas dipahami bahwa Umar bin Khattab telah meninggalkan ayat tersebut, atau ayat disesuaikan dengan situasi kondisi ?
Cara pandang ekstrim demikian akan muncul bila asbabun nuzul dipahami sebatas peristiwa dan pelakunya. Apabila ia dipahami secara komprehenship, meliputi waktu, tempat, situasi dan kondisi sosial-budaya yang melatarbelakangi turunnya ayat, kemudian dicoba dicari tujuan-tujuan syariah dan mashlahah mursalah yang menjadi ruh ayat tersebut, maka akan dapat melahirkan perkembangan dalam penafsiran yang lebih tepat.
XIII. Nasikh – Mansukh
Nasikh adalah penghapusan lafazh atau hukum suatu nash syara’, sedangkan mansukh adalah nash syara’ yang dihapus lafazh atau hukumya.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 106 :
“Apa saja ayat-ayat yang kami nasakh, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya, atau kami datangkan yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Macam-macam naskh dalam Al-Qur’an :
1. Naskh lafaz dan hukum.
Riwayat Ismail bin Ahmad dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif, bahwa telah ada sekelompok orang sahabat Nabi yang memberitahu dia tentang seorang laki-laki diantara mereka yang tidak tidur pada tengah malam. Dia bermaksud untuk membuka catatan sebuah surah yang sebelumnya dia hafal. Ternyata dia tidak menjumpai tulisan surah itu kecuali hanya tulisan “Bismillahirrahmanirrahim”. Maka pada keesokan harinya dia datang ke rumah Nabi untuk menanyakan hal tersebut. Ternyata ada juga beberapa orang yang datang kepada Nabi sehingga mereka berkumpul menjadi beberapa orang. Mereka saling menanyakan antara yang satu dengan yang lain. Mereka juga saling menceritakan pengalaman yang dialami masing-masing tentang tulisan surat yang tiba-tiba hilang. Beberapa saat kemudian Nabi menerima mereka dan mendengarkan penuturan mereka. Kemudian Nabi terdiam sejenak, setelah itu beliau bersabda : “Tadi malam surat tersebut telah di nasakh. Maka hafalan surah itupun dinasakh dari dada mereka (yang telah hafal) dan juga dari benda apapun yang mengabadikan rasm (tulisan) surah tersebut”.
Riwayat dari Ibnu Mas’ud : “Telah diturunkan sebuah ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah saw. sehingga saya mencatatnya didalam mushafku. Namun pada suatu malam ternyata permukaan mushaf itu hanya berwarna putih (hilang tulisannya), maka saya menceritakan hal tersebut kepada Nabi, ternyata beliau bersabda : “Tidakkah kamu tahu bahwa ayat tersebut telah diangkat (dinasakh) tadi malam”.
Muslim meriwayatkan dari Aisyah : “Diantara yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim”. Lafazh Ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat “Lima susuan yang maklum”. Jadi lafazh ‘Sepuluh susuan’ telah dinasakh dengan ayat lain yang ber lafazh ‘Lima susuan’. Demikian juga hukum lima susuan telah menasakh hukum sepuluh susuan yang menyebabkan menjadi muhrim.
2. Naskh lafaz sedang hukumnya tetap.
Yaitu lafazh ayat dihapus dari mushaf, tapi hukumnya tetap berlaku. Contohnya tentang hukum rajam bagi pezina muhson.
Riwayat dari Said bin Al-Musayyab : “bahwa Umar bin Khattab telah berkata : “…Mengenai ayat tentang rajam, maka janganlah sampai kalian tidak mengetahuinya, karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah menerapkan hukuman rajam, begitu juga dengan kami, kami telah mempraktekkannya. Ayat tentang rajam itu benar-benar telah diturunkan. Ayat rajam yang kami baca, “Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan (maksudnya yang sudah menikah) jika sampai melakukan perbuatan zina, maka rajamlah keduanya dengan pasti”. Kalau bukan karena khawatir orang-orang akan mengatakan Umar telah menambahkan sebuah ayat dalam kitab Allah, pasti saya telah menulis ayat itu dengan tanganku sendiri (dalam mushaf Al-Qur’an)””.
3. Naskh hukum sedang lafaznya tetap.
Yaitu lafazh ayat yang dihapus (mansukh) masih tetap ada dalam mushaf, tapi hukumnya telah dihapus oleh ayat yang menghapusnya (nasikh). Ulama terdahulu (abad 1 s.d. 3 H) memperluas konsep nasakh hingga mencakup hal hal :
a. Penghapusan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian (taksish) hukum yang bersifat umum oleh hukum yang meng khususkannya.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Ulama Mutaakhkhirin mempersempit pengertian nasakh hanya bila meghapuskan hukum yang terdahulu atau telah berakhirnya masa berlaku hukum yang terdahulu sehingga ketentuan yang berlaku adalah hukum yang ditetapkan terakhir. Para ulama masih memperselisihkan adakah ayat Al-Qur’an yang dinasakh hukumnya sedangkan lafazhnya masih ada dalam mushaf. Sebagian berpendapat tidak ada, yaitu : Abu Muslim al-Ashfani, Fakhruddin ar Razi, Muhammad Abduh, dll. Kelompok yang menolak adanya nasakh hukum, mereka menta’wilkan kata “ayat” dalam QS Al-baqarah : 106 dengan “mukjizat” jadi yang di nasakh adalah mukjizat bukan ayat Al-Qur’an.
Adapun kelompok yang menetapkan adanya nasakh, menafsirkan kata “ayat” dengan zahirnya, diantaranya Imam Syafi’i, Imam Syaukani dan As-Suyuthi. Mengenai ayat-ayat yang dinasakh, kelompok yang menetapkan adanya nasakh juga berbeda pendapat. As-Suyuthi menyebutkan ada 21 ayat Al-Qur’an yang dinasakh.
Pembagian Naskh
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Semua ulama sepakat kebolehannya, bagi yang menetapkan adanya naskh
2. Naskh Al-Qur’an dengan hadits
a. Naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir.
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad membolehkannya.
b. Naskh Al- dengan hadits Qur’an ahad.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan jumhur ulama tidak membolehkan, berdasarkan ayat “Apa saja yang kami nasakh kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya” (QS Al-Baqarah [2] : 106).
3. Naskh hadits dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama sepakat membolehkan, contoh Arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunah dinasakh oleh ayat Al-Qur’an, QS Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”
4. Naskh hadits dengan hadits
a. Naskh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir
b. Naskh hadits ahad dengan hadits ahad
c. Naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir
d. Naskh hadits mutawatir dengan hadits ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk ke-empat diperselisihkan.
5. Naskh berpengganti dan tidak berpengganti
a. Nasakh tanpa pengganti, contoh :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu” (QS Al-Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan ini dinasakh oleh ayat :
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul ? Maka jika kamu tidak memperbuatnya – dan Allah telah memberi taubat kepadamu – maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat”. (QS Al-Mujadalah [58] : 13).
b. Nasakh dengan badal akhtaff, misalnya firman Allah :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu … “ (QS Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini menghapus firman Allah :
“…sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu …” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Karena maksud ayat QS Al-Baqarah [2] : 183 adalah agar puasa kita seperti ketentuan puasa orang-orang terdahulu, yaitu dilarang bercampur dengan istri apabila mereka telah mengerjakan shalat petang atau telah tidur.
c. Nasakh dengan badal mumasil, misalnya penghapusan arah Kiblat ke Baitul Makdis menjadi menghadap ke Masjidil Haram.
“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram..” (QS Al-Baqarah [2] : 144).
d. Nasakh dengan badal asqal, seperi penghapusan hukuman penahanan rumah, dalam ayat :
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai meninggal…” (QS An-Nisa’ [4] : 15).
Ayat tersebut dinasakh dengan ayat tentang hukuman rajam bagi pezina muhson (sudah pernah menikah) atau dera seratus kali bagi pezina yang belum pernah menikah.
Contoh-contoh naskh.
As-Suyuthi menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat, diantaranya :
1. QS Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram”
Ayat ini menasakh arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2. QS Al-Baqarah [2] : 180 : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya …”
Kewajiban berwasiat dalam ayat ini dinasakh oleh ayat tentang hukum waris dan diperkuat oleh hadits. “Sesungghuhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan warisnya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”
3. QS Al-Baqarah [2] : 284 : “Jika kamu melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”.
Ayat ini meng isyaratkan Allah akan membuat perhitungan terhadap perbuatan dan lintasan hati manusia. Namun pertanggungjawaban lintasan hati ini dinasakh oleh QS Al-Baqarah [2] : 286 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
4. QS Al-Anfal [8] : 65 : “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh…”
Ayat ini melarang kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh kurang dari sepuluh kali lipat, namun ayat ini di nasakh dengan QS Al-Anfal [8] : 66 :
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang”. Ayat ini membolehkan kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh lebih dari dua kali lipat.
Namun kelompok yang tidak mengakui adanya nask hukum dalam mushaf Al-Qur’an tetap memberikan argumentasi bahwa ayat-ayat tersebut bukan nasakh, melainkan hanya mentahsis atau bisa dikompromikan atau berlaku menurut masa tertentu atau punya sebab berbeda sehingga hukumnya berbeda.
Hikmah adanya Nasakh :
1. Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.
XIV. Muhkam (jelas) – Mutasyabih (samar)
Ayat Al-Qur’an yang muhkam artinya : jelas dan mudah diketahui maknanya. Sedangkan ayat Al-Qur’an yang mutasyabih artinya : samar dan tidak mudah diketahui maknanya.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat yang muhkam dengan ayat-ayat yang nasikh (menghapus) dan masih berlaku hukumnya, ayat-ayat tentang halal-haram, akidah (rukun iman), tauhid, hudud (hukuman), kewajiban (ibadah, rukun Islam), janji (pahala, ampunan, surga) dan ancaman (dosa, laknat, azab neraka), itulah pokok-pokok agama (ushul) karena ayat-ayatnya muhkam (jelas dan tidak diperselisihkan) maka menjadi perkara yang qoth’i (pasti).
Sedangkan contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan” (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”.
Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.
3. Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
Menurut Ibnu Abbas, tafsir ayat Al-Qur’an itu ada empat macam :
1. Tafsir yang dipahami oleh orang-orang Arab karena kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
Ayat-ayat mutasyabih termasuk dalam point ke-3 dan ke-4 yaitu ada yang diketahui tafsirnya oleh ulama yang mendalam ilmunya dan ada yang hanya diketahui tafsirnya oleh Allah saja. Ayat-ayat mutasyabih ini hanya sebagian kecil saja dari seluruh Al-Qur’an, sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an adalah muhkam.
Firman Allah dalam QS Ali-Imran [3] : 7
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkam yang merupakan induk (agama) dan lainnya mutasayabih. Adapun orang-orang yang dalam harinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Imam Malik pernah ditanya tentang makna istiwa’ (bersemayam) nya Allah diatas ‘Arsy, maka beliau menjawab : “maksud istiwa’(bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan bagaimana caranya adalah bid’ah”.
Hikmah adanya ayat Mutasyabih :
1. Menegaskan kemukjizatan Al-Qur’an, yaitu dalam balagah dan bayan.
2. Mendorong umat untuk menuntut ilmu yang banyak dan mendalam.
3. Merangsang penggunaan kemampuan berpikir.
4. Menjadi ujian bagi mukmin, apakah ada yang cenderung mengada-ada mencari ta’wilnya atas dasar hawa nafsu.
XV. Kaidah Amr (perintah) – Nahi (larangan)
Amr (perintah)
Amr berarti perintah atau suruhan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari Allah kepada manusia.
Hukum lafazh amr :
1. Asal dari suatu perintah itu adalah menunjukkan wajib.
2. Makna wajib bisa berpaling dari makna wajib ke makna lain, apabila terdapat petunjuk (qarinah) yang menghendaki makna lain tersebut, baik qarinah tersebut berupa susunan bahasa atau tuntutan maknanya secara keseluruhan maupun karena nash lain yang menuntut perpalingan makna.
3. Asal dari suatu perintah tidak menuntut adanya pengulangan, kecuali bila terdapat dalil yang menunjukkan kebalikannya. Misalnya QS Al-Maidah [5] : 6 : “Dan jika kamu junub, maka mandilah.” Perintah mandi berlaku berulang bila penyebabnya yaitu “junub” berulang.
Bentuk – bentuk amr :
1. Menggunakan kata kerja perintah (fi’il amr), seperti pada QS [4] : 4 :
“Dan berikanlah kepada perempuan (Dalam perkawinan) mas kawinnya dengan ikhlas; tetapi jika dengan senang hati mereka memberikan sebagian darinya kepadamu, terimalah dan nikmatilah pemberiannya dengan senang hati”.
2. Menggunakan fi’il mudhari’ dengan didahului lamul-amr, seperti dalam QS [3] : 104 :
“Hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat yang ma’ruf dan melarang perbuatan mengkar. Mereka inilah orang yang beruntung”.
3. Bentuk isim fi’il amr, seperti pada QS [5] : 105 :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”.
4. Masdar pengganti fi’il, seperti pada QS [2] : 83 :
“Dan ingatlah ketika Kami menerima ikrar dari Bani Israil : tidak akan menyembah selain Allah, berbuat baik kepada orangtua dan kerabat, kepada anak yatim dan orang miskin dan berbudi bahasa kepada semua orang; dirikanlah shalat dan tunaikan zakat. Tetapi kemudian kamu berbalik, kecuali sebagian kecil diantara kamu dan kamu (masih juga) menentang”.
5. Kalimat berita yang mengandung arti perintah atau permintaan, seperti pada QS [2] : 228 :
“Perempuan-perempuan yang dicerai harus menunggu tigak kali quru’ “.
6. Kalimat yang mengandung kata amar, fardhu, kutiba, ‘ala yang berarti perintah.
Kategori amr :
1. Amr menunjukkan wajib, seperti pada QS [4] : 77 :
“Dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat”.
Ayat tersebut menunjukkan shalat adalah wajib dan yang meninggalkannya adalah dosa.
2. Amr menunjukkan sunah, seperti pada QS [24] : 33 :
“Buatlah perjanjian yang demikian, jika kamu ketahui mereka baik”.
Ayat ini menunjukkan perintah tanpa kewajiban, tetapi baik sekali bila dikerjakan.
3. Amr tidak menghendaki pengulangan pelaksanaan, seperti pada QS [2] : 196 :
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa mengerjakan haji dan umrah itu diwajibkan satu kali saja seumur hidup.
4. Amr menghendaki pengulangan, seperti pada QS [5] : 6 :
“Dan bila kamu sedang dalam keadaan junub maka bersihkan dengan mandi penuh”.
5. Amr tidak menghendaki kesegeraan, seperti pada QS [2] : 184 :
“Jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (berpuasalah) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain”.
6. Amr menghendaki kesegeraan, seperti pada QS [2] : 148 :
“Masing-masing mempunyai tujuan, ke sanalah Ia mengarahkannya; maka berlombalah kamu dalam mengejar kebaikan”.
7. Perintah yang datang setelah larangan bermakna mubah, seperti pada QS [5] : 2 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu langgar lambang-lambang Allah. Tetapi bila kamu selesai menunaikan ibadah haji, berburulah”.
B. Nahi (larangan)
Nahi berarti larangan atau cegahan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari Allah kepada manusia.
Hukum lafazh nahi :
1. Asal dalam larangan adalah menunjukkan haram.
2. Makna haram bisa berpindah ke makna lain apabila ada petunjuk (qarinah) yang menghendaki peralihan ke makna lain tersebut, baik qarinahnya itu berupa tuntutan makna yang dapat dipahami dari susunan bahasanya, maupundari nash lain yang menunjukkan tuntutan terhadap perpalingan makna itu.
3. Lafazh nahi menghendaki larangan secara kekal dan spontan. Sebab yang dilarang itu tidak terwujud kecuali apabila larangan itu bersifat kekal. Para ahli ushul menyebutkan : “Menurut asalnya nahi yang mutlak itu menuntut kesinambungan untuk semua masa.”
Bentuk-bentuk Nahi :
1. Fi’il nahi, seperti pada QS [17] : 31-34 :
“Janganlah kamu bunuh anak-anakmu karena takut kekurangan… Dan jangalah kamu mendekati perbuatan zina; sungguh itu perbuatan keji dan jalan yang buruk. Dan janganlah kamu menghilangkan nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali demi kebenaran… Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya, sampai ia mencapai umur dewasa”.
2. Menggunakan lafazh utruk (biarkanlah), seperti pada QS [44] : 24 :
“Dan biarkanlah laut terbelah, sebab mereka tentara yang akan ditenggelamkan”.
3. Menggunakan lafazh da’ (tinggalkanlah), seperti pada QS [33] : 48 :
“Dan janganlah kau turuti orang-orang kafir dan kaum munafik, tinggalkanlah (janganlah kau hiraukan) gangguan mereka; tetapi tawakallah kepada Allah; sebab cukuplah Allah sebagai pelindung”.
4. Menggunakah lafazh naha (dilarang), seperti pada QS [59] : 7 :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dilarang tinggalkanlah. Bertaqwalah kepada Allah; Allah sangat keras dalam menjatuhkan hukuman”.
5. Menggunakan lafazh harrama (diharamkan), seperti pada QS [7] : 33 :
“Katakanlah, Tuhanku mengharamkan segala perbuatan keji, yang terbuka atau tersembunyi, dosa dan pelanggaran hak orang tanpa alasan; mempersekutukan Allah, padahal Ia tak memberi kekuasaan untuk itu, dan berkata tentang Allah yang tidak kamu ketahui”.
Ragam pemakaian nahi beserta makna dan tujuannya :
1. Larangan yang menunjukkan haram, seperti pada QS [17] : 32
“Dan janganlah kamu mendekati zina”.
2. Larangan yang menunjukkan makruh, seperti pada HR Tirmidzi :
“Janganlah kamu shalat dikandang unta” (HR Tirmidzi).
3. Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya, seperti pada QS [31] : 13 :
“Ingatlah ketika Luqman berkata kepada putranya sambil ia memberi pelajaran, “Hai anakku ! Janganlah menyekutukan Allah; menyekutukan Allah sungguh suatu kedzaliman yang besar”.
4. Nahi bermakna doa, seperti pada QS [2] : 286 :
“Ya Tuhan kami, janganlah menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan; Ya Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami suatu beban berat seperti yang Engkau bebankan kepada orang yang sebelum kami; Ya Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami beban yang tak mampu kami pikul”.
5. Nahi bermakna bimbingan, seperti pada QS [5] : 101 :
“Hai orang yang beriman! Janganlah tanyakan sesuatu, yang bila diterangkan menyusahkan kamu”.
6. Nahi menegaskan keputusasaan, seperti pada QS [66] : 7 :
“Hai orang-orang kafir! Janganlah kamu berdalih hari ini! Balasan yang akan kamu peroleh hanyalah atas apa yang kamu kerjakan”.
7. Nahi untuk menenteramkan, seperti pada QS [9] : 40 :
“Jangan sedih, Allah beserta kita”.
XVI. Kaidah Wujuh (banyak makna) – Nazha’ir (satu makna)
Wujuh adalah satu kata yang mempunyai banyak makna, sedangkan nazha’ir adalah kata yang hanya mempunyai satu makna yang tetap.
Muqatil bin Sulaiman meriwayatkan yang disandarkan kepada Nabi : “Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum dia mengetahui makna yang beragam (wujuh) dari Al-Qur’an”.
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Hammad Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qalabah, dari Abu Darda’ : ”Sesungguhnya engkau tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum engkau mengetahui makna-makna Al-Qur’an dalam berbagai ragam”.
Diantara lafazh-lafazh yang termasuk dalam kategori wujuh adalah kata “al-huda”. As-Suyuthi mengemukakan tujuh belas arti kata tersebut dalam berbagai tempat sebagai berikut :
1. Tsabat, tetap teguh
“Teguhkanlah kami pada jalan yang lurus” (QS Al-Fatihah [1] :6).
2. Al-bayan, menjelaskan
“Merekalah yang berada dalam penjelasan tuhan dan mereka yang akan berhasil” (QS Al-Baqarah [2] : 5).
3. Ad-dien, agama
“Katakanlah, ‘Agama yang benar ialah agama’ “. (QS [3] : 73).
4. Iman
“Dan Allah menambah keimanan kepada mereka yang telah dikaruniai iman” (QS [19] : 76).
5. Ad Du’a, seruan
“Dan orang-orang kafir berkata : “Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari Tuhannya ?” Tetapi engkau adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru” (QS [13] : 7).
6. Rasul dan kitab
“Kami berfirman : “Turunlah kamu sekalian dari sini. Maka apabila datang kepadamu Rasul dan kitab Aku, siapapun mengikuti Rasul dan kitab-Ku tak ada kekhawatiran dan tak perlu sedih” (QS [2] : 38).
7. Al-Ma’rifah, pengetahuan
“Dan dia memancangkan diatas bumi gunung-gunung supaya tidak menggoyangkan kamu dan sungai-sungai serta lorong-lorong supaya kamu mendapat petunjuk. Dan rambu-rambu dan dengan bintang-bintang mereka mengetahui” (QS [2] : 159).
8. Nabi Muhammad
“Mereka menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi yang kami turunkan setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat laknat Allah dan laknat mereka yang berhak melaknat.” (QS [2] : 159).
9. Al-Qur’an
“Itu hanya nama-nama yang kamu buat-buat sendiri, kamu dan moyang kamu, Allah tidak memberi kekuasaan itu. Apa yang mereka ikuti hanyalah dugaan dan yang menyenangkan nafsu sendiri. Padahal Al-Qur’an dari Tuhan sudah sampai kepada mereka.” (QS [53] : 23).
10. Taurat
“Dahulu telah kami berikan kepada Musa Taurat. Dan kami wariskan Kitab itu kepada Bani Israil.” (QS [40] : 53).
11. Al-Istirja’, mohon perlindungan
“Mereka berkata, bila ditimpa musibah “Inna lillahi wa ‘inna ilaihirojiun” Kami milik Allah dan kepadaNya pasti kami kembali. Mereka itulah yang mendapat karunia dan rahmat dari Tuhan dan mereka itulah yang memohon perlindungan” (QS Al-Baqarah [2] : 156-157).
12. Al Hujjah, argumen
“Tidakkah tergambar olehmu orang yang berdebat dengan Ibrahim tentang Tuhannya karena ia telah diberi kekuasaan ? Ibrahim berkata , “Tuhanku Yang menghidupkan dan Yang mematikan.” Ia berkata : “Akulah yang membuat hidup dan membuat mati.” Ibrahim berkata, “Tapi Allah Yang menyebabkan matahari terbit dari Timur. Terbitkanlah kalau begitu, dari Barat.” Orang yang ingkar itu terkejut. Allah tidak memberi argumen kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah [2] : 156-157).
13. Tauhid
“Mereka berkata, “Jika kami akan mengikuti ajaran tauhid bersamamu, tentulah kami akan diusir dari tanah kami”. (QS [28] : 57).
14. Sunnah, pedoman perilaku
“Ataukah sudah Kami beri kitab kepada mereka sebelum itu, lalu mereka jadikan pegangan ? Bahkan mereka berkata, “Kami sudah melihat leluhur kami sudat menganut suatu agama, dan kami berpedoman pada mereka.” (QS [43] : 21-22).
15. Al-ishlah, pembenaran
“Itulah supaya ia tahu bahwa aku tidak mengkhianatinya ketika ia tak ada, dan Allah tidak membenarkan tipu muslihat para pengkhianat.” (QS [12] : 52)
16. Ilham
“Ia berkata : “Tuhan kami ialah Yang telah memberikan setiap suatu (ciptaan) bentuk dan kodratnya, kemudian mengilhaminya.” (QS [20] : 50)
17. Taubat
“Dan tetapkanlah untuk kami kehidupan yang baik, didunia dan diakhirat. Sungguh kami bertobat kepadaMu, Ia berfirman, “Azabku akan menimpa siapa-siapa yang Kukehendaki dan rahmatKu meliputi segala sesuatu. Dan akan Kutetapkan (rahmatKu) untuk mereka yang bertaqwa dan yang mengeluarkan zakat serta mereka yang beriman kepada ayat-ayat kami.” (QS [7] : 156)
Kata-kata lain yang termasuk wujuh adalah su’, shalat, rahmah, fitnah, ruh, dzikr, din, du’a.
Sedangkan contoh nazha’ir adalah kata “al-barru” yang selalu bermakna darat dan “al-bahru” yang selalu bermakna laut. Misalnya dalam ayat :
1. QS Al-An’am [6] : 59
“Dia mengetahui apa yang didarat dan dilaut.”
2. QS Yunus [10] : 22
“Dialah yang memungkinkan kamu menjelajahi daratan dan lautan.”
3. QS Al-Isra’ [17] : 70
“Kami telah memberi kehormatan kepada anak-anak Adam; Kami lengkapi mereka dengan sarana angkutan di darat dan di laut.”
Fenomena wujuh dalam Al-Qur’an merupakan fenomena kewahyuan, dimana seorang pembaca Al-Qur’an akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan ‘wajah’ nya dari perpekstif dan latar belakang ia membacanya, seperti permukaan berlian yang memberikan cahaya yang beragam dari semua sudut pandang yang berbeda-beda.
XVII. Kaidah Isim (kata benda) - Fi’il (kata kerja)
Menurut As Suyuthi, isim menunjukkan tetapnya keadaan dan kelangsungannya. Sedangkan fi’il menunjukkan timbulnya sesuatu yang baru dan terjadinya suatu perbuatan. Masing-masing kata tersebut mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lain untuk tetap menghadirkan makna yang sama. Hakikat makna yang dikandung ayat berbeda, dengan perkataan kata yang digunakan.
A. Beberapa contoh ayat yang menggunakan isim :
1. QS Al-Kahfi [18] : 18 :
“Engkau mengira mereka bangun, padahal mereka tidur dan kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri; anjing mereka merentangkan kedua kaki depannya diambang pintu. Kalau engkau melihat mereka, tentu engkau akan berbalik lari dari mereka dan penuh rasa takut”.
Ayat tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing ashabul kahfi ketika tidur didalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selama mereka tidur. Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim (kata benda), tidak dengan fi’il (kata kerja). Penggunaan isim tersebut lebih menggambarkan tetapnya keadaan anjing sepanjang waktu itu.
2. QS Al Hujurat [49] : 15 :
“Orang-orang yang mukmin ialah yang beriman kepada Allah dan RasulNya dan tak pernah ragu berjuaang di jalan Allah dengan harta dan nyawa. Mereka itulah orang-orang yang tulus hati”.
Iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap syukur. Penggunaan isim mu’minun menggambarkan keadaan pelakunya yang terus berlangsung dan berkesinambungan. Ia tidak terjadi secara temporer. Mukmin adalah sebutan untuk orang yang keberadadannya senantiasa diliputi iman.
B. Beberapa contoh ayat yang menggunakan fi’il :
1. QS Al-Baqarah [2] : 274 :
“Mereka yang menyumbangkan harta, siang dan malam, dengan sembunyi atau terang-terangan, pahala mereka pada Tuhan. Mereka tak perlu khawatir dan tak perlu sedih”.
Kata yunfiqun (meng-infaq-kan) pada ayat diatas menunjukkan keberadaannya sebagai tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal. Manakala seseorang melakukan pekerjaan ituia berolah pahala dan jika meninggalkan ia tidak memperolah pahala.
2. QS Asy-Syu’ara’ [26] : 78-82 :
“Yang menciptakan aku, dan Dialah Yang membimbingku; Yang memberi aku makan dan minum. Dan bila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku; Yang akan membuatku mati, dan kemudian menghidupkan aku (kembali). Dan kuharapkan mengampuni dosa-dosaku pada hari perhitungan”.
Isim khalaqa dalam ayat tersebut menunjukkan telah terjadi dan selesainya penciptaan pada waktu yang lampau, sedang fi’il yahdi dan lain-lainnya dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan terus berlangsungnya perbuatan itu waktu demi waktu berangsur-angsur hingga sekarang.
XVIII. Kaidah Mufrad (tunggal) – Jamak (berbilang)
Mufrad adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang menunjukkan satu atau tunggal. Sedangkan Jamak adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang berarti lebih dari satu atau banyak.
Kaidah Mufrad-Jamak dalam Al-Qur’an :
1. Kata yang selalu disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) misalnya : ardh (bumi), shirath (jalan), nur (cahaya).
2. Kata-kata yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, misalnya : lubb-albab (orang orang yang memikirkan), kub-akwab (piala-piala).
3. Kata yang dipergunakan dalam bentuk mufrad dan jamak untuk maksud atau konteks yang berbeda. Kata-kata tersebut antara lain : Sama’ – samawat, rih – riyah, sabil – subul, maghrib –magharib, masyriq – masyariq.
Kata sama’ dalam bentuk jamak adalah untuk menyebut bilangan atau untuk menunjukkan betapa luasnya. Dan dalam bentuk mufrad jika yang dimaksud adalah arah atas, sebagai lawan bawah.
Kata rih biasanya disebutkan dalam bentuk mufrad jika digunakan dalam konteks azab dan digunakan dalam bentuk jamak jika digunakan dalam konteks rahmat.
Kata sabil disebutkan dalam bentuk mufrad, jika digunakan dalam konteks kebenaran dan disebutkan dalam bentuk jamak jika untuk jalan kesesatan.
Kata masyriq dan maghrib dimufradkan untuk menunjukkan arah, di jamak kan jika menunjukkan dua tempat terbit dan dua tempat terbenam, yakni musim dingin dan musim panas. Dijamakkan karena keduanya adalah tempat terbit dan tempat terbenam setiap hari.
XIX. Kaidah Dhamir (Kata Ganti), Tadzkir (penunjuk laki-laki) dan Ta’nits (penunjuk perempuan).
Dhamir (kata ganti) berfungsi untuk menghindari pemborosan kata-kata, mempersingkat perkataan, tanpa mengubah maknanya, contohnya :
“Sungguh, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, tabah, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar” (QS 33 : 35)
kata “hum” yaitu “mereka” pada akhir ayat menggantikan 25 kata yang disebutkan sebelumnya. Dhamir mempunyai kata yang digantikan yang disebut isim zhahir (kata yang disebutkan dengan jelas) dan isim marji’ (tempat kembali).
Dhamir terdiri atas tiga macam :
1. Kata ganti orang pertama, menggunakan dhamir mutakallim.
2. Kata ganti orang kedua, menggunakan dhamir mukhatab.
3. Kata ganti orang ketiga, menggunakan dhamir ghaib.
Tadzkir (penunjuk laki-laki) adalah kata-kata yang menunjukkan jenis gender laki-laki (mudzakkar) dan ta’nits (penunjuk perempuan) adalah kata-kata yang menunjukkan jenis gender perempuan (mu’annats). Untuk mendalami masalah ini silahkan mempelajari ilmu nahwu (gramatika) Bahasa Arab.
XX. Kaidah Ta’rif (Isim Makrifah) dan Tankir (Isim Nakirah)
Isim Makrifah adalah kata benda tertentu, mempunyai beberapa fungsi, antara lain :
1. Ta’rif dengan isim dhamir (kata ganti) untuk meringkas kalimat, contoh QS 33 : 35 : “Sungguh, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, tabah, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar”.
2. Ta’rif dengan nama diri berfungsi untuk beberapa maksud :
a. Menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebut namanya yang khas, contoh QS 112 : 1-2 : “Katakanlah, Dia lah Allah, Yang Maha Esa, Allah Yang Kekal, Yang Mutlak”
b. Memuliakan atau mengungkap identitas, contoh QS 48 : 29 : “Muhammad adalah utusan Allah, orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, kasih-sayang antara sesamanya, akan kau lihat mereka rukuk dan sujud (dalam shalat), mencari karunia Allah dan ridhaNya”.
c. Menghinakan atau meremehkan, contoh QS 111 : 1 : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab, binasalah dia”.
3. Ta’rif dengan isim isyarah (kata penunjuk), untuk maksud tertentu
a. Menjelaskan yang ditunjuk itu dekat, dengan kata penunjuk “hadza” atau “hadzihi”, contoh QS 31 : 11
b. Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jauh, dengan kata penunjuk : dzalika, tilka, ula’ika.
c. Menjelaskan keagungan yang ditunjuk dengan menggunakan kata penunjuk jauh : dzalika, contoh QS 2 : 2.
d. Menghinakan dengan kata penunjuk dekat, contoh QS : 29 : 64.
4. Ta’rif dengan isim maushul karena beberapa alasan :
a. Karena tidak disukai penyebutan namanya untuk menutupi atau merendahkan, contoh QS 46 : 17
b. Untuk menunjukkan umum, contoh QS 29: 69.
c. Untuk meringkas kalimat, contoh QS 33 : 69.
5. Ta’rif dengan alif dan lam, antara lain berfungsi untuk :
a. Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui, karena sudah disebutkan sebelumnya.
b. Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui oleh pendengar.
c. Menunjukkan hakikat makna secara keseluruhan.
d. Menunjuk seluruh pengertian yang tercakup didalamnya.
6. Ta’rif dengan idhafah, antara lain berfungsi sebagai berikut :
a. Memuliakan, contoh QS 15 : 42.
b. Menunjuk pengertian umum, contoh QS 35 : 3.
Isim Nakirah adalah kata benda tak tentu, digunakan untuk beberapa fungsi, antara lain sbb :
1. Menunjukkan tunggal, contoh QS Yasin [28] : 20 : “Dan seorang laki-laki datang tergesa-gesa dari ujung kota”. Kata “rajulun” maksudnya seorang laki-laki.
2. Menunjukkan ragam-macam, contoh QS Al-Baqarah [2] : 96 : “Sungguh akan kau dapati merekalah orang yang paling serakah ingin hidup”. Yaitu ragam kehidupan, mencari tambahan untuk masa depan.
3. Menunjukkan tunggal dan ragam sekaligus, contoh QS An-Nur [24] : 45 : “Allah menciptakan semua yang melata dari air”. Maksudnya, setiap macam dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nutfah.
4. Mengagungkan atau memuliakan, contoh QS Al-Baqarah [2] : 279 : “Jika kamu lakukan, ketahuilah, suatu pernyataan perang dari Allah dan Rasulnya”. Kata “harb” berarti peperangan yang dahsyat .
5. Menunjukkan jumlah yang banyak, contoh QS Asy-Syu’ara’ [26] : 42 : “Setelah ahli-ahli sihir datang, mereka berkata kepada Fir’aun, “Tentu kami akan mendapat imbalan bila kami yang menang ?”. Kata “ajran” ialah pahala yang banyak.
6. Mengagungkan dan menunjukkan arti banyak sekaligus, contoh QS Fatir [35] : 4: “Kalau mereka mendustakan engkau, Rasul-Rasul sebelummu pun sudah didustakan dan kepada Allah segala persoalan dikembalikan”. Maksudnya, Rasul-Rasul yang mulia dan banyak jumlahnya.
7. Untuk merendahkan, contoh QS Abasa [80] : 18 : “Dari bahan apakah Ia menciptakan ? Dari setetes air mani. Ia menciptakan, lalu membentuknya menurut ukuran”.
8. Menyatakan jumlah yang sedikit, contoh QS At-Taubah [9] : 72 : “Allah menjanjikan kepada orang yang beriman, laki-laki dan perempuan (yaitu) taman-taman surga …. Dan keridlaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang gemilang”. Artinya ridla Allah yang sedikit itu lebih besar daripada surga-surga yang ada, kerena merupakan pangkal kebahagiaan.
9. Menunjukkan pengertian umum jika nakirah tersebut mengandung unsur nafyi atau nahyi atau syarth atau istifham, contoh QS 82 : 19 : “Hari ketika tak seorang pribadi pun berkuasa atas pribadi yang lain dan segala urusan hari itu hanyalah semata pada Allah”. Kata nafs dalam ayat tersebut bersifat umum, siapapun orangnya sama, tidak dapat membantu orang lain.
XXI. Kaidah Hadzful Ma’ful (membuang obyek kalimat)
Kaidah hadzful ma’ful adalah pembuangan obyek dalam kalimat. Apabila suatu kata kerja (fi’il) atau yang mengandung arti kata kerja, dihubungkan dengan suatu obyek tertentu, pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata yang berkaitan. Akan tetapi jika obyek kata itu ditinggalkan (tidak disebutkan) maka kata tersebut mengandung pengertian yang lebih luas dan umum.
Contoh-contoh :
1. QS Al-alaq [96] : 1-3
“Bacalah dengan nama Tuhanmu dan Penjagamu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah.”
Dalam ayat diatas setelah kata ‘Bacalah’ tidak ditemukan obyek (ma’ful). Padahal lazimnya kata kerja memerlukan obyek atau sasaran yang dikenai pekerjaan.
Suatu kaidah dari hadzful ma’ful adalah bahwa satu kata yang dalam susunan redaksinya tidak menyebutkan obyeknya, maka obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dalam contoh diatas, kata ‘bacalah’ mencakup segala yang dapat dibaca baik yang tersirat (tulisan) maupun yang tersurat (tanda-tanda/gejala alam semesta).
2. QS An Nahl [16] : 43
“Maka bertanyalah kepada ahl dzikr (ahli ilmu).”
Kata ‘bertanyalah’ diatas tidak dijelaskan obyeknya, bertanya tentang apa. Jadi diperintahkan bertanya mengenai segala sesuatu yang belum diketahui.
XXII. Kaidah Istifham (pertanyaan mencari pemahaman)
Istifham adalah mencari pemahaman tentang sesuatu hal yang belum diketahui.
Kata tanya (adatul istifham) terbagi dalam dua kategori :
a. Huruf istifham, berupa hamzah dan hal yang artinya apakah.
Huruf hamzah, digunakan untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang jawabannya memerlukan ya atau tidak, seperti pada QS [5] : 116 :
“Dan ingatlah ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam! Engkaukah yang berkata kepada orang : Sembahlah aku dan ibuku sebagai tuhan selain Allah ?” Ia berkata, “Maha suci Engkau! Tidak sepatutnya aku mengatakan apa yang bukan menjadi hakku”.
Lafazh hal, adalah kata tanya untuk konfirmasi, yang memerlukan jawaban : Ya atau tidak, seperti pada QS [76] : 1 :
“Bukankah sudah berlalu pada manusia masa yang panjang dari waktu ketika dia bukan apa-apa (bahkan) tidak disebut-sebut ?”.
b. Isim istifham, yaitu semua kata tanya selain yang nomor 1, yaitu : apa (ma), siapa (man), bagaimana (kaifa), kapan (mata), bilamana (ayyana), dari mana (anna), berapa (kam), dimana (aina), apa, siapa (ayyu)
a. Lafazh ma (apa), digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tak berakal, seperti pada QS [74] : 42-43 :
“Apa yangmembawa kamu kedalam api neraka ?” Mereka berkata , “Kami tidak termasuk golongan orang yang shalat.”
b. Lafazh man (siapa), untuk menanyakan makhluk berakal, seperti pada QS [2] : 245 :
“Siapakah yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang akan Ia lipat gandakan gantinya dengan sebanyak-banyaknya? Allah akan memberi (kepadamu) kesempitan dan kelapangan (rejeki), dan kepadaNya kamu dikembalikan.”
c. Lafazh mata (kapan), digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang lampau maupun yang akan datang, seperti pada QS [2] : 241 :
“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga tanpa suatu cobaan seperti dialami mereka sebelum kamu? Mereka mengalami penderitaan dan malapetaka dan jiwa mereka begitu tergoncang, sehingga Rasul pun berkata bersama orang-orang yang beriman , “Bilakah datangnya pertolongan Allah? “Ya, sungguh pertolongan Allah sudah dekat!”
d. Lafazh ayyana (bilamana), digunakan untuk menanyakan sesuatu berkenaan dengan waktu mendatang, seperti pada QS [75] : 6 :
“Ia bertanya, “Bilakah hari kiamat itu ?”
e. Lafazh kaifa (bagaimana), untuk menanyakan keadaan sesuatu, seperti pada QS [3] : 101 :
“Dan bagaimana kamu akan mengingkari padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan ditengah-tengah kamu pun ada Rasul-Nya?”
f. Lafazh anna (dari mana), untuk menanyakan asal-usul, seperti pada QS [19] : 8 :
“Dia berkata, “Tuhanku, bagaimana aku akan mendapatkan anak, sedang istriku mandul dan aku sudah dalam usia renta ?”
g. Lafazh kam (berapa), digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan, seperti pada QS [2] : 259 :
“Atau seperti orang yang melewati sebuah dusun yang sudah runtuh sampai ke atap-atapnya, ia berkata, “Oh, bagaimana Allah menghidupkan semua ini setelah mati ? “lalu Allah membuat orang itu mati selama seratus tahun kemudian membangkitkannya kembali. Lalu Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal disini ?” Ia menjawab, “Saya tinggal disini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman, “Tidak, bahkan seratus tahun.”
h. Lafazh aina (dimana), digunakan untuk menanyakan tempat, seperti pada QS [81] : 26 :
“Maka kemanakah kamu akan pergi ?”
i. Lafazh ayyu, untuk menanyakan apa atau siapa, seperti pada QS [6] : 81 :
“Manakah dari kedua golongan yang lebih berhak mendapat keamanan? (katakanlah) jika kamu mengerti.”
XXIII. Kaidah Tanya – Jawab
A. Ragam Tanya – Jawab
Suatu riwayat asbabun nuzul menyebutkan bahwa sekelompok orang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang bulan sabit, mengapa mula-mula terlihat kecil seperti benang, lalu bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian berkurang lagi hingga kembali ke keadaan semula. Untuk menjawab hal itu maka Allah menurunkan ayat QS Al-Baqarah [2] : 189 :
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan-bulan baru. Katakanlah, itu tanda-tanda waktu untuk manusia dan untuk musim haji.”
Jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang ditanyakan. Jawaban demikian merupakan kehendak Allah. Maksudnya, jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Redaksi semacam ini oleh Al-Salaki, seperti dikutip As-Suyuthi disebut uslub hakim.
Adakalanya jawaban yang diberikan lebih luas dari yang ditanyakan, misalnya dalam QS [6] : 63-64 :
“Katakanlah , “Siapakah yang menyelamatkan kamu dari bahaya yang mengerikan di darat dan di laut, kamu berdoa kepadaNya dengan rendah hati dan suara lembut. Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari (bahaya) ini tentulah kami akan bersyukur ? “ Katakanlah, “Allah akan menyelamatkan kamu dari segala bencana. Namun kamu kemudian mempersekutukannya !”
Adakalanya jawabannya lebih sempit cakupannya daripada yang ditanyakan. Misalnya pada QS [10] : 15 :
“Bila kepada mereka ayat-ayat Kami dibacakan dengan jelas, mereka yang tidak mengharapkan bertemu dengan Kami berkata, “Bawakanlah bacaan lain dari ini, atau gantilah !” Katakanlah, “Tiada semestinya aku menggantikannya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Jika tidak mentaati Tuhanku aku takut akan azab hari maha dahsyat (yang akan datang).”
B. Bentuk-Bentuk Pertanyaan dan Jawaban Dalam Al-Qur’an
1. Jawaban bersambungan dengan pertanyaan, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 215 :
“Mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan, Katakanlah : Apa saja yang baik yang kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bapak dan kearabat, kepada anak yatim dan orang miskin dan kepada orang terlantar dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinya.”
2. Jawaban terpisah, baik terdapat dalamsatu surat maupun dalam dua surat yang berlainan, contohnya pada QS [25] : 7 :
“Dan mereka berkata : “Rasul macam apa ini, makan makanan dan berjalan di pasar-pasar ? Kenapa tidak diturunkan seorang malaikat kepadanya dan bersama-sama memberi peringatan.”
Jawabannya ada pada ayat yang berbeda, yaitu ayat 20 pada surat yang sama :
“Dan Rasul-Rasul yang kami utus sebelummu, mereka memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar.”
3. Dua jawaban dalam satu surat untuk satu pertanyaan, contohnya QS [43] : 31-32 :
“Mereka berkata, “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang penting dari kedua kota ini ? ”Ataukah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu ? Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka.”
4. Jawaban lainnya ada pada QS [28] : 68 :
“Dan tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Ia kehendaki. Bagi mereka tak ada pilihan.”
5. Pertanyaan yang tidak diberikan atau tidak memerlukan jawaban, contohnya pada QS [47] : 14 :
“Adakah orang yang berpegang pada (jalan) yang terang dari Tuhannya, sama dengan orang yang menganggap indah perbuatannya yang buruk dan mengikuti hawa nafsu mereka ?”
6. Jawaban yang disebutkan mendahului pertanyaan, contohnya pada QS [38] : 4
“Shad, demi Al-Qur’an yang penuh peringatan.”
Ayat diatas sebagai jawaban atas pertanyaan keheranan orang musyrik Mekkah yang disebutkan lebih dahulu dari pertanyaan keheranan mereka pada ayat sesudahnya, yaitu QS [38] : 4 :
“Mereka keheranan ada seorang pemberi peringatan datang dari kalangan mereka sendiri, orang-orang kafir lalu berkata : dia seorang seorang tukang sihir dan pendusta.”
XXIV. Kaidah Syarat – Jawab
Dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab), kata-kata syarat (adawatusy-yarth) itu terbadi dalam dua bagian :
1. Kata syarat yang menjazamkan fi’il : in, idzma, ma, mata, man, kaifama, haitsuma, aina, ayyana, ayyun dan mahma.
2 Kata syarat yang tidak menjazamkan : lau, laula, idza, kullama dan lamma.
Kalimat yang didahului dengan kata syarat dinamakan jumlah syarthiyyah.
Beberapa Contoh Kata Syarat Dalam Al-Qur’an :
1. In (jika) dalam QS Al-Baqarah [2] : 284.
2. Idza (bila, jika) dalam QS [110] : 1-3.
3. Man (barang siapa) dalam QS [4] : 110.
4. Mahma (apapun) dalam QS [7] : 132
5. Aina (dimana) dalam QS [4] : 78.
6. Ayyun (apa) dalam QS [17] : 110.
7. Lau (jikalau, kiranya) dalam QS [9] : 42.
Perbedaan Penggunaan In dan Idza :
Menurut ketentuan asal, mutakallim (orang pertama) tidak bisa memastikan terjadinya apa yang disyaratkan di waktu mendatang. Untuk itu digunakan kata syarat in. Ia dipakai dalam kondisi yang jarang terjadi dan harus bedampingan dengan lafazh mudhari’ (kata kerja sekarang atau yang akan datang), sebab terdapat segi keraguan tentang terjadinya.
Adapun kata syarat idza, menurut asalnya dipakai dalam keadaan mutakallim optimis terjadinya apa yang disyaratkan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, idza tidak dipakai kecuali dalam beberapa keadaan yang banyak terjadi dan berdampingan dengan bentuk madhi (kata kerja bentuk lampau), karena bentuk ini menunjukkan hal yang pasti terjadi, contohnya dalam QS [7] : 131 :
“Bila mereka mangalami musim yang baik, mereka berkata, “Inilah usaha kami. “Tetapi jika mereka ditimpa yang buruk, mereka melemparkan sebab-sebabnya pada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, nasib mereka ditangan Allah; tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Hadzf Jawabusy Syarth
Menurut As Sa’di yang dikutip Abd. Rahman Dahlan dalam bukunya Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, apabila jawabusy-syarth dari jumlah syartiyyah dibuang, itu menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan. Jika ia membicarakan masalah siksa maka itu menunjukkan dahsyatnya siksaan tersebut, contohnya :
“Sekiranya engkau dapat melihat ketika orang-orang jahat menundukkan kepala dalam-dalam dihadapan Tuhan (sambil berkata), “Tuhan, kami melihat dan mendengar. Maka kembalikanlah kami (ke dunia); kami akan mengerjakan amal kebaikan. Sungguh, (sekarang) kami telah yakin.” (QS [32] : 12).
“Sekiranya kau lihat ketika mereka dalam ketakutan, tapi tak dapat melarikan diri, dan keadaan mereka ditangkap dari tempat yang dekat dan mereka berkata, “Kami sekarang percaya (pada kebenaran). “Tapi bagaimana mereka akan beriman dari tempat yang jauh dan sebelumnya mereka sudah menolaknya dan mereka (terus-menerus) melemparkan (penghinaan) kepada yang ghaib dari tempat yang jauh.” (QS [34] : 51-53).
XXV. Kaidah Petunjuk Kata (Dalalah Lafazh)
Petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (mantuq, makna eksplisit yang tersirat) dan adakalanya pula berdasarkan pemahaman (mafhum, makna implisit yang tersirat).
A. Mantuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,
itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.
2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
Berhenti haid dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
3. Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
4. Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”
Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.
B. Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq.
1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .”
Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.
2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq.
3. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “
Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh “orang fasik”. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.
4. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.”
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.
5. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :
“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “
Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.
6. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
XXVI. Kaidah Makna Kata (lafazh)
A. Makna Hakikah (lahir)
Makna hakihah adalah makna lahir (harfiah/lughawiyah).
Hakikah diklasifikasikan menjadi :
1. Lughawiyyah Wadhi’iyyah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Selain itu biasa disebut pula dengan hakikah al lughawiyyah saja. Misalnya kata “rajul” yang digunakan untuk menyebut laki-laki dewasa.
2. Lughawiyya Manqulah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi makna, baik yang dilakukan oleh ahli bahasa maupun pembuat syariat. Kata jenis ini, bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian, sebagai berikut :
a. Al-Urfiyyah, yaitu transformasi makna dari makna asal karena kebiasaan. Misalnya kata “ad-dabbah” (hewan melata) menjadi makna lain yang lebih populer. Berdasarkan asal maknanya mempunyai konotasi semua mahkluk hidup yang melata dimuka bumi, yang meliputi manusia dan hewan. Kemudian digunakan orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat sehingga makna asalnya ditinggalkan.
b. As-Syari’yyah, yaitu kata yang mengalami transformasi makna dari makna asal kepada makna lain yang digunakan oleh pembuat syariat. Karena yang melakukan transformasi adalah yang membuat syariat, maka konotasi maknanya harus berdasarkan dalil syariat. Misalnya kata shalat, zakat, shiyam (puasa), kafir, haji dan lain-lain.
B. Makna Majaz (kiasan)
Makna majaz adalah makna yang digunakan tidak sesuai dengan asal makna kata yang lahir karena ada indikasi yang menghalangi diartikan dengan makna hakiki.
Klasifikasi makna majaz :
1. Isti’arah, yaitu meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru disebabkan adanya persamaan diantara masing-masing, contohnya wajah yang elok dengan dengan bulan purnama : “wajah anda bagai bulan purnama.”
Isti’arah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Isti’arah Tashrihiyyah, untuk menjelaskan persamaan yang disamakan dengan persamaannya, misalnya pada QS Ibrahim [14] : 1 :
“Alif lam ra. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju cahaya.”
Kata “gelap-gulita” dipinjam sebagai kiasan untuk kesesatan, kekufuran dan kata “cahaya” dipinjam sebagai kiasan untuk petunjuk, keimanan.
b. Isti’arah Makaniyyah, obyek yang menjadi kiasan dibuang, kemudian digantikan dengan kata yang mencerminkan sifatnya yang dominan, misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 24 :
“Rendahkanlah sayapmu terhadap mereka berdua (ibu-bapak) dengan penuh kash sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Obyek yang menjadi kiasan yang sebenarnya adalah burung, namun kata burung dihilangkan digantikan dengan sifat burung yang dominan yaitu sayap.
c. Isti’arah Takhyiliyyah, menetapkan keberadaan obyek yang menjadi kiasan bagi yang dijadikan kiasan, sehingga pihak yang diseru akan membayangkan bahwa yang dijadikan kiasan tersebut sejenis dengan yang menjadi kiasan. Misalnya pada QS Al-Mulk : [67] : 8 :
“Hampir-hampir (neraka) itu meledak-ledak lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalamnya sekumpulan (orang-orang) kafir, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan ?”
d. Isti’arah Tamtsiliyyah, ini berupa susunan kata yang tidak digunakan pada tempatnya. Hal itu disebabkan adanya hubungan persamaan, yaitu dengan dihilangkannya wujud persamaannya dari beberapa perkara, misalnya pada QS Al-Mulk [67] : 22 :
“Maka apakah orang yang berjalan dengan muka terjungkal itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap diatas jalan yang lurus ?”
Orang yang berjalan tegap diatas jalan lurus adalah kiasan untuk orang-orang mukmin, sedangkan orang yang berjalan dengan muka terjungkal adalah kiasan untuk orang-orang kafir.
3 Mursal, yaitu jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Majaz Mursal dibagi menjadi empat :
a. Juz’iyyah, karena dengan menyebut sebagiannya, Misalnya QS Al-Muzammil [73] : 2
“Bangunlah dimalam hari, kecuali sedikit (daripadanya).”
Bangunlah maksudnya berdirilah, maksudnya berdiri untuk maksud keseluruhannya yaitu shalat, jadi bangunlah adalah majaz untuk shalatlah.
b. Kulliyah, disebut keseluruhan untuk maksud sebagiannya. Contohnya QS Al-Baqarah [2] : 19
“Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.”
Anak jari adalah keseluruhan jari-jari, padahal yang dimaksud adalah salah satu dari anak jari, karena tidak mungkin seluruh anak jari dimasukkan untuk menyumbat telinga.
c. Sababiyah, menyebut sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya, misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 194 :
“Oleh sebab itu siapa saja yang menyerang kamu, maka seranglah (balaslah) ia seimbang dengan serangannya terhadapmu.”
Kata seranglah adalah kata yang sama dengan kata menyerang sebelumnya, padahal yang dimaksud seranglah adalah balaslah.
d. Musabbabiyah, yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya, contoh pada QS Al-Baqarah [2] : 61 :
“Oleh sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang bumi tumbuhkan, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang-putihnya, kacang-adasnya dan bawang-merah nya.”
Yang menumbuhkan tumbuhan adalah Allah, namun karena tempat tumbuhnya adalah di bumi maka penyebutan apa yang bumi tumbuhkan, maksudnya adalah apa yang Allah tumbuhkan di bumi itu.
C. Musytarak (ambigu)
Musytarak adalah kata yang mempunyai lebih dari satu arti. Bila dijumpai lafazh musytarak sedapat mungkin dicari penjelasan (bayan) nya, dari ayat Al-Qur’an yang lain maupun dari sunnah (riwayat hadits).
Contoh-contoh lafazh musytarak :
1. QS Al-Baqarah [2] : 228
“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Kata “quru’” bisa bermakna haid, bisa bermakna suci (mandi).
2. QS An-Nisa’ [4] : 43 :
“…Atau kamu telah menyentuh perempuan…”
Kata “lamasa” bisa bermakna sentuhan kulit, bisa bermakna bersetubuh.
3. QS Al-Ma’idah [5] : 38 :
“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…”
Kata “yad” bisa bermakna : tangan sampai pegelangan, tangan sampai siku, tangan sampai bahu.
XXVII. Kaidah Am (umum) – Khas (khusus)
A. Lafazh ‘am (umum)
Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.”
Berdasarkan keumuman lafazh “keluarga” pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.”
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
“Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”
Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata “keluargamu” yang dijanjikan akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk ‘Am :
1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.”
b. QS An-Nisa’ [4] : 123
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.”
3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jami’un (seluruh)
a. QS Ali Imran [3] : 185 :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.”
b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :
“Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Isra’ [17] : 110 :
“Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.”
5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :
a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.”
b. QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.”
6. Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :
a. QS Al-An’am [6] : 130 :
“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini … ?”
b. QS At-Taubah [9] : 36 :
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.”
7. Isim berbentuk jama’ yang diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Ma’idah [5] : 42 :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.”
9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.”
10. ‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’ (plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “.
Macam-macam penggunaan lafazh ‘am (umum) :
a. ‘Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
“Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”
Kata “ahadan” tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Kata “ummhat” ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b. ‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 :
“Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c. ‘Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
B. Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “
b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.”
Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
Kalimat “sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain
a. Ayat Al-Qur’an yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
“Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
“Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
b. Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).
c. Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’).
Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :
“Allah mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak..
d. Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 :
“Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
e. Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] : 6 :
“Allah adalah pencipta segala sesuatu.”
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f. Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :
“Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.”
Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 :
“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?”
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh ‘am, khas dan takhsis :
1. Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.
XXVIII. Kaidah Mujmal (global) – Mufassar/Mubayyan (ditafsirkan/dijelaskan)
Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syar’i, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
“Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.”
2. Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :
a. Dari ayat Al-Qur’an yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :
“…Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Kalimat “Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena ambigutias huruf wawu, yaitu kata “dan”. Bisa berkonotasi kata penghubung (‘athaf) atau Kata depan permulaan kalimat baru (isti’naf). Jika kata “dan” dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah “hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya”. Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah “hanya Allah yang mengetahui takwilnya” sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya –yang notabene tidak tahu takwilnya- berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih”. Oleh karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :
“Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Ayat ini menunjukkan Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf “dan” pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah “yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.”. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat demikian.
b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :
“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … “
Kata “kekuatan” pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
“Saya mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar- ‘Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.’ ”
Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)
Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :
“…dan dirikanlah shalat…”
Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).
4. Penjelasan dengan tulisan
Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5. Penjelasan dengan isyarat
Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan
Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.
7. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).
Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.
Apabila datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.
Macam-macam mufassar :
1. Mufassar oleh zatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang.
Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :
“Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.”
Kata “semuanya” itu adalah mufassar.
2. Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.
XXIX. Kaidah Mutlaq (tanpa batasan) – Muqayyad (dengan batasan)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”
Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 :
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman”
Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :
“(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.”
Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”
2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-An’am [6] : 145 :
“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”
Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu “darah yang mengalir.”
3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa’ [4] : 43 :
“….Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
lafazh “(basuhlah) tanganmu sampai dengan siku” adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.
Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu “bersuci” tapi pada segi hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa’ [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
“Apabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir ‘iddahnya, maka rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
Lafazh “saksi” pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
“Apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu).”
Lafazh “saksi” pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan “laki-laki”.
Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu “mengadakan dua orang saksi”. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah “rujuk pada istri” sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : “hutang-piutang”.
b. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”
Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.
XXX. Terjemah, Tafsir dan Ta’wil
A. Terjemah (Translate)
Pengertian terjemah adalah memindahkan kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Terjemah dibagi dua yaitu secara harfiah (litterlijk) dan secara tafsiriyyah (ma’nawiyah). Terjemahan secara harfiah (litterlijk) sangat tidak dianjurkan untuk orang awam yang umum, kecuali untuk pelajar yang mempelajari bahasa.Terjemahan yang disarankan untuk orang awam yang umum adalah terjemahan yang tafsiriyaah (ma’nawiyah).
Contoh dalam QS Al-Qamar [54] : 13, bila diterjemahkan secara harfiyah adalah :
“Dan kami bawa dia (Nabi Nuh) diatas yang mempunyai papan-papan dan paku-paku. Ia berjalan dengan mata-mata Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang tidak dipercayai”
maka terjemahan ini pasti membingungkan dan kurang bisa dipahami. Maka terjemahan yang baik adalah secara ma’nawiyyah, yaitu :
“Dan kami, kendarakan dia (Nabi Nuh) diatas (bahtera yang terdiri dari) papan-papan dan paku-paku (supaya ia selamat dari topan yang hebat itu). Ia (kapal itu) berlayar dengan pengawasan Kami, sebagai ganjaran bagi orang-orang yang tidak dipercayai (oleh sebagian besar kaumnya, yakni kaum Nabi Nuh).
B. Tafsir dan Ta’wil
Ulama dahulu (mutaqaddimin) tidak membedakan antara tafsir sengan ta’wil, berkata Mujahid : ”Sesungguhnya para ulama mengetahui ta’wil Al-Qur’an maksudnya yaitu tafsir maknanya”. Sedangkan ulama kemudian (mutaakhkhirin) membedakan antara tafsir dengan ta’wil.
Tafsir adalah penjelasan tentang makna yang lahir (zhahir) dari ayat Al-Qur’an sedangkan ta’wil mengambil sebagian makna dari makna-makna yang dikandung Al-Qur’an.
Contoh, dalam QS at-Taubah [9] : 41 : “Berangkatlah kamu (ke medan perang) baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat”. Frasa kalimat merasa ringan ataupun berat di ta’wil dengan dalam keadaan tua ataupun muda.
Menurut Ibnu Abbas, tafsir ayat Al-Qur’an itu ada empat macam :
1. Tafsir yang dipahami oleh orang-orang Arab karena kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
XXXI. Perkembangan Tafsir
A. Masa Sahabat
Ibnu Khladun dalam kitab Muqaddimah-nya menjelaskan : “Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balagahnya. Karena itu semua orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosa kata maupun susunan kalimatnya”.
Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.
Riwayat Mujahid dari Ibnu Abbas : “Dulu saya tidak tahu apa makna fatirus samawati wal ard sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar tentang sumur. Salah seorang mereka berkata : “Ana fatartuha”, maksudnya “ana ibtada’tuha” (akulah yang membuatnya pertama kali).
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang kepada :
1. Al-Qur’an, yaitu penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain.
2. Penjelasan Nabi, mereka bertanya langsung kepada Nabi apabila menemui kesulitan dalam memahami makna Al-Qur’an.
Riwayat dari Ibnu Mas’ud : “Ketika turun ayat ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan imannya dengan kezaliman …” (QS Al’An’am [6] : 82). Hal ini sangat meresahkan hati para sahabat, mereka bertanya : ‘Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya ?’, Beliau menjawab : ‘Kezaliman disini bukanlah seperti yang kalian pahami. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh (Luqman), ‘Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar’ (QS Luqman [31 : 13), kezaliman disini sesungguhnya adalah syirik”.
3. Pemahaman dan ijtihad. Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah empat khulafaur rasyidinh, Ibnu Ma’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabri bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash dan ‘Aiysah ummul mukminin.
B. Masa Tabi’in
Setelah penaklukan Islam semakin meluas keluar dari Jazirah Arab, Pada era Khalifah Usman sahabat-sahabat besar diijinkan keluar dari kota Madinah untuk mengajarkan agama di daerah-daerah taklukan, maka para sahabat menyebar ke berbagai daerah dan mengembangkan madrasah di tempatnya masing-masing :
Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang menjadi muridnya adalah : Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah.
Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat Nabi yang lain, diantara muridnya dikalangan tabi’in adalah : Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi muridnya antara lain : ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah Al-Hamazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Pada masa ini sebagian ulama ahli kitab (Yahudi) ada yang masuk Islam, sebagian tabi’in menukil dari mereka Isra’iliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Misalnya yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul ‘Azis bin Juraij.
C. Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasyah. Tokoh-tokoh yang terkemuka diantara mereka adalah : Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah (wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H0, Rauh bin ‘Ubadah al-Basri (wafat 205 H), Aburrazaq bin Hammam (wafat 211 H), Adam bin Abu Iyas (wafat 220 H) dan ‘Abd bin Humaid (wafat 249 H). Kitab tafsir pembukuan pertama ini tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan pada kitab-kitab tafsir bil ma’sur periode sesudahnya.
Generasi berikutnya setelah periode pertama diatas menulis tafsir secara independen serta menjadikan ilmu tafsir yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadits. Diantara mereka adalah : Ibn Majah (safat 273 H), Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310 H), Abu Bakar bin Munzir an-Naisaburi (safat 318 H), Ibn Abi Hatim (wafat 327 H), Abusy Syaikh bin Hibban (safat 369 H0, Al-Hakim (safat 405 H) dan Abu Bakar bin Mardawaih (safat 410 H).
Kemudian ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah “kalam” semakin berkobar, fanatisme mazhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung mazhabnya masing-masing. Itu semua membuat tafsir ternoda oleh iklim yang tidak sehat tersebut, sehingga para mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah pada berbagai kecenderungan. Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata pujangga dan filosof, seperti Fakhruddin ar-Razi. Ahli fikih hanya membahas soal-soal fikih, seperti Al-Jassas dan Al-Qurtubi. Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita seperti As-Sa’labi dan Al-Khazin. Tafsir ahli kalam punya kecenderungan mendukung mazhabnya seperti Al-Jubai, Qadi Abdul Jabbar dan Zamakhsyari dari Mu’zilah, Mala Muhsin al-Kasyi dari Syiah al-Isna Asyriyah, Ibnu Arabi dari golongan Tasawwuf hanya mengemukakan makna-makna yang tersirat (isyari).
Kemudian datanglah masa modern yang memperhatikan masalah kotemporer (kekinian), aspek sosial, keindahaln uslub dan kehalusan ungkapan, diantara mufasir kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Muhammd Rasyid Ridha, Muhammad Mustafa al-Maragi, Sayyid Qutub dan Muhammad Izzah Darwazah.
Jenis-Jenis Tafsir
1. Tafsir bil Ma’tsur
Yaitu tafsir yang didasarkan pada nukilan-nukilan yang sahih menurut urutan, yaitu : Al-qur’an, hadits, pendapat sahabat, pendapat tabi’in.
2. Tafsir bir-ra’yi (akal)
Yaitu tafsir yang didasarkan pada ijtihad sendiri berdasarkan akal semata
3. Tafsir Isyari (isyarat)
Yaitu tafsir yang didasarkan pada isyarat yang kadang tidak tertangkap dari tekstual lahirnya. Contoh tafsir isyari adalah tentang ayat “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS an-Nasr [110] : 1) maka Ibnu Abbas menafsirkan itu adalah isyarat tentang ajal Rasulullah yang sudah dekat.
Tafsir isyari ini banyak digunakan oleh kaum sufi berdasarkan kasyf atau ilham laduni dalam memahami isyarat makna batin dari Al-Qur’an.
Menurut Ibnul Qayyim, tafsir isyari dapat diterima apabila memenuhi empat persyaratan :
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir ayat.
2. Maknanya sendiri sahih (tidak batil).
3. Terdapat indikasi bagi makna isyarat tersebut.
4. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat dan dapat dipahami oleh akal yang sehat.
4. Tafsir Tematik.
Yaitu tafsir yang hanya membahas pada tema-tema khusus tertentu, seperti yang berhubungan dengan hukum (ahkam), majaz, Nasikh-Mansukh, Asbabul-Nuzul.
5. Tafsir Garib (janggal)
Yaitu penafsiran kata-kata yang asing atau ayat mutasyabih yang dipaksakan untuk ditafsirkan maknanya, atau penafsiran berdasarkan ra’yu semata yang sulit diterima oleh akal sehat. Contoh :
a. Firman Allah dalam QS An-Nazi’at [79] : 17 “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”. Kata Fir’aun ditafsirkan sifat buruk yang ada pada setiap manusia.
b. Firman Allah dalam QS Al-Maidah [5] : 55 “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.
Dikatakan bahwa makna “orang-orang yang beriman” adalah para Imam Syiah yang dua belas. Kemudian “mereka tunduk” diartikan Sayyidina Ali.
32. Syarat dan Adab Bagi Mufasir
A. Syarat-syarat Mufasir :
1. Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an terlebih dahulu.
4. Mencari Penafsiran dari hadits.
Firman Allah dalam QS An-Nisa’[16] : 44 :
“Dan kami turunkan kepadamu ad-dzikr (Al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
5. Mencari penafsiran dari pendapat (atsar) sahabat, yaitu bila tidak dijumpai penafsiran dari hadits nabi yang maqbul (diterima).
6. Mencari penafsiran dari pendapat tabi’in, yaitu bila tidak dijumpai penafsiran dari para sahabat Nabi.
7. Mengetahui bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika), sharaf (konyugasi), balagah (retorika), ma’ani, bayan (kejelasan) dan badi’ (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat), tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan), serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui arti kata-kata sulit yang jarang digunakan.
Mujahid berkata : “Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab”.
8. Mengetahui ilmu ushul tafsir, yang meliputi seluruh pembahasan pada point VII. Ushul tafsir diatas.
9. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabi’in.
10. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.
11. Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan syariat.
B. Adab Mufasir :
1. Berniat baik dan bertujuan benar.
2. Berakhlak baik.
3. Taat dan beramal.
4. Berlaku jujur, teliti dan obyektif.
5. Tawadu’ dan lemah lembut.
6. Berjiwa mulia dan menjaga muru’ah (kehormatan diri dan agama).
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran.
8. Berpenampilan dan berperilaku yang baik.
9. Bersikap tenang dan mantap.
10. Menghormati pendapat orang lain yang lebih utama.
11. Mempersiapkan dan menempuh metode pnafsiran yang baik.
XXXIII. Kitab – Kitab Tafsir yang Terkenal
A. Tafsir bil Ma’sur
1. Tafsir yang disandarkan kepada Ibnu Abbas –Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibn Abbas- disusun oleh Abu Tahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi asy-Syafi’i.
2. Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul bayan fi tafsiril Qur’an.
3. Tafsir Ibn Abi Hatim
4. Tafsir Abusy Syaikh bin hibban.
5. Tafsir Abu Lais as-Samarqandhi, Bahrul-Ulum.
6. Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal bayan ‘an tafsiril Qur’an.
7. Tafsir Abu Fida Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim.
8. Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mansar fil Tafsiri bil-Ma’tsur.
9. Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.
B. Tafsir bir ra’yu
1. Tafsir Abu ‘Ali al-Jubai (salah satu tokoh Mu’tazilah).
2. Tafsir Qadi Abdul Jabbar.
3. Tafsir Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an haqa’iqi gawamidit tanzil wa ‘uyunil aqawil fi wujuhit ta’wil.
4. Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib.
5. Tafsir an-Nasafi, Madarikut tanzil wa haqa’iqut ta’wil.
6. Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit.
7. Tafsir Al-Baidawi, Anwarut tanzil wa asrarut ta’wil.
8. Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin al-Mahalli dan muridnya Jalaluddin as-Suyuthi.
9. Tafsir al-Qurtubi, Al-Jami’li Ahkamil Qur’an.
C. Tafsir Isyari
1. Tafsir Gharaibul Qur’an wa Raghaibul Furqan, karya Syeikh Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad al-Husain al-Khurasani an-Naisaburi.
2. Tafsir Al-Qur’anul Azhim, karya Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Abdullah at-Tustari
3. Tafsir Ruhul Ma’ani, karya Syihabuddin as-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi.
4. Tafsir Haqaiqut Tafsir, karya Abu Abdurrahman Muhammad bin Husain bin al-Asad as-Sulami.
D. Tafsir Modern
1. Tafsir Al-Manar, karya Muhammad Rasyid Ridha.
2. Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi.
3. Tafsir Fi Zilalil Qur’an, karya Sayyid Qutub.
4. Tafsir al-Jawahir, karya Thantawi Jauhari.
5. Tafsir Fathul Bayan, karya Shidiq Hasan Khan.
34. Biografi Singkat Beberapa Mufasir.
A. Ibnu Abbas
Beliau adalah putra paman Nabi yaitu Abbas bin Abdul Munthalib, dilahirkan ketika Bani Hasyim berada di Syi’b, tiga atau tahun sebelum hijrah. Ketika Rasulullah meninggal Ibnu Abbas baru berumur 13 tahun. Ketika perang siffin beliau berada di al-Maisarah, kemudian diangkat sebagai gubernur Basrah oleh Khalifah Ali. Setelah Khalifah Ali terbunuh beliau menetap di Mekkah.
Ibnu Abbas dikenal sebagai Turjumanul Qur’an (juru tafsir Al-Qur’an), Habrul ummah (tokoh ulama umat) dan Ra’isul Mufassirin (pemimpin para mufasir). Dalam Mu’jam al-Bagawi dan lainnya meriwayatkan dari Umar :
“Bahwa Umar mendekati Ibnu Abbas dan berkata, sungguh saya pernah melihat Rasulullah mendoakanmu, lalu membelai kepalamu, meludahi mulutmu dan berdoa, ‘Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil’”.
Riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya, mulai dari yang sahih, hasan, munqathi , dhaif sampai maudlu.
Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud : “Juru tafsir Al-Qur’an yang terbaik adalah Ibnu Abbas”.
Abu Nu’aim meriwayatkan dari Mujahid : “Adalah Ibnu Abbas dijuluki dengan al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya.”
B. Mujahid bin Jabr
Beliau dilahirkan pada 21 H, masa Khalifah Umar. Mujahid adalah pemimpin atau tokoh utama mufasir generasi tabi’in, Ia belajar tafsir kepada Ibnu Abbas. Ia juga banyak meriwayatkan dari Ali, S’d bin Abi Waqqas, empat orang Abdullah, Rafi’ bin Khudaij, Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Suraqah bin Malik dan lainnya.
Sufyan Tsauri berkata : “Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu”.
Berkata Ibnu Taimiyah : “Syafi’i, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada tafsirnya”.
Az-Sahabi berkata : “Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka yang kata-katanya dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir belajar”.
C. Ibn Jarir at-Tabari
Lahir 224 H di Baghdad dan meninggal 310 H dikota yang sama. Ulama yang luas ilmunya, banyak meriwayatkan hadits, ahli dalma pen-tarjih-an (seleksi yang lebih kuat) riwayat-riwayat, banyak mengetahui sejarah tokoh dan kisah terdahulu.
Kitab tafsirnya Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an merupakan kitab tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting para mufasirin bil ma’sur.
Ibn Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri berupa istimbath (penyimpulan) yang unggul dan pemberian isyarat pada kata-kata yang samar ‘irabnya. Imam Nawawi dalam Tahzibnya berkata : “Kitab Ibn Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorangpun pernah menyusun kitab yang menyamainya”. Ibnu Katsir, tokoh mufasir yang sesudahnya banyak menukil darinya.
D. Ibn Katsir
Nama lengkapnya Ismail bin Amr al-Qurasyi bin Katsir al-Basri ad-Dimsyaqi ‘Imaduddin Abul Fida al-Hafiz al-Muhaddits asy-Syafi’i. Lahir 705 H dan wafat 774 H.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Atsqolani berkata : “Beliau adalah seorang ahli hadits yang faqih, karangan-karangannya tersebar luas diberbagai negeri semasa hidupnya dan dimanfaatkan orang banyak setelah wafatnya”.
Kitab tafsirnya Tafsirul Qur’anil Adzim merupakan tafsir paling masyhur meriwayatkan dari mufasir generasi salaf dan menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan irab dan morfologi yang bertele-tele seperti yang dilakukan kebanyakan mufasir juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak significant. Tafsirnya dimulai dengan menafsirkan ayat dengan ayat Al-Qur’an yang lain, kemudian dengan pendapat sahabat, pendapat tabi’in dan ulama salaf sesudahnya. Menukil Israiliyat yang relevan dengan tetap memberi peringatan akan cerita-cerita Israiliyat yang munkar.
E. Fakhruddin ar-Razi
Lahir di Ray 543 H dan wafat di Harah tahun 606 H. Sangat menguasai ilmu mantiq (logika), filsafat serta menonjol dalam ilmu kalam. Kitab tafsirnya Mafatihul Gaib berisi uraian mengenai kedokteran, logika, filsafat dan hikmah serta membawa kepada persoalan-persoalan ilmu aqliah yang bukan untuk itu nash diturunkan. Oleh karena itu kitab tafsir ini kurang memiliki ruh Islam, seorang penilai mengatakan tentang kitab tafsirnya : “Didalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri”.
F. Az-Zamakhsyari
Nama lengkapnya Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi az-Zamakhsyari. Dilahirkan tahun 467 H di Zamakhsar. Beliau sangat ahli dalam ilmu bahasa, ma’ni dan bayan. Bagi orang-orang yang membaca kitab-kitab imu nahwu dan balagah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan :”Zamakhsyari telah berkata dalam kitab Al-Kasysyaf atau dalam Asasul Balagah-nya…”. Beliau orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab. Bukan type orang yang suka mengikuti langkah-langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi ia mempunyai pendapat orisinal yang jejaknya ditiru dan diikuti oleh orang lain. Imam Zamakhsyari ber mazhab Hanafi dalam fikih dan ber akidah Mu’tazilah. Beliau menafsirkan Al-Qur’an cenderung kepada mazhab dan akidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli.
G. As-Syaukani
Nama lengkapnya Qadi Muhammad bin Ali bin Abdullah asy-Syaukani as-San’ani, seorang imam mujtahid. Dilahirkan di kampung Syaukan pada 1173 H dan meninggal tahun 1250 H. Dalam fikih beliau ber mazhab Zaidiyah. Kitab tafsirnya Fathul Qadir menggabungkan antara riwayat, penalaran dan istinbath atas nash-nash ayat.
Reference :
1. Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, author : Manna Khlail al-Qattan. Publisher : Lintera Antar Nusa.
2. Al-Qur’an dan ulumul Qur’an, author : Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag. Publisher : Dana Bhakti Prima Yasa.
3. Al-Qur’an sumber hukum Islam yang pertama, author : Drs. Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabudin. Publisher : Pustaka.
4. Ulumul Qur’an Praktis, author : Drs. Hafidz Abdurrahman, MA. Publisher : Idea Pustaka.
No comments:
Post a Comment