Efek negatif dan peristiwa sejarah Kristen-Muslim tercermin dalam pandangan mengenai Islam yang muncul dari literatur dan pemikiran Barat. Walaupun ada saat-saat berhubungan. saling mengetahui, dan pertukaran yang bersifat membangun, pada umumnya ekspansi Muslim ke Eropa, dari penaklukan Arab hingga Perang Salib dan Kerajaan Utsmaniyah, menghasilkan permusuhan dan ketidakpercayaan terhadap Islam, yang terutama dipandang sebagai ancaman bagi Kristen. Warisan ini, seperti yang dikatakan oleh Albert Hourani, "masih ada dalam kesadaran Eropa, yang masih takut dan pada umumnya masih salah paham."[1] Rasa takut dan penghinaan yang bersatu dengan etnosentrisme Eropa mengakibatkan citra Islam dan Muslim yang terdistorsi dan menjadikan para ilmuwan beralih dari studi tentang kontribusi Islam ke pemikiran Barat. "Sebelum tahun-tahun di antara dua Perang Dunia, usaha yang serius dilakukan untuk memahami kontribusi Islam pada perkembangan pemikiran Barat dan dampaknya pada masyarakat Barat yang berada di lingkungan Islam."[2] Pada penaklukan-penaklukan Arab abad ke-7, Kristen sekali lagi merasakan Islam sebagai ancaman ganda, baik secara teologis maupun politis. Perang Salib untuk pertama kalinya telah membuat Islam sangat dikenal di Eropa abad pertengahan, walaupun tidak dipahami. R.W. Southern menulis: "Sebelum tahun 1100, saya menemukan hanya satu kali sebutan nama Muhammad dalam literatur abad pertengahan di luar Spanyol dan Italia Selatan. Tetapi sejak tahun 1120 setiap orang di Barat mempunyai gambaran mengenai apa arti Islam dan siapa Muhammad. Gambaran itu sangat jelas, tetapi itu bukan pengetahuan... Para penulisnya menikmatkan diri dalam kebodohan akan imajinasi kemenangan."[3] Kebodohan ini bukan hanya mencerminkan pengetahuan yang kurang tetapi juga kecenderungan manusia pada umumnya baik di antara orang-orang terpelajar maupun tidak terpelajar untuk mengecam dan menjelek-jelekkan musuhnya, untuk merasa unggul dan memusnahkan hal-hal yang menantang dan mengancam kepercayaan atau kepentingannya dengan mencapnya sebagai sesuatu yang jelek, sesat, fanatik, atau irasional. Gambaran atau karikatur yang menjelek-jelekkan Muhammad dan Islam diciptakan -atau lebih tepatnya, dikarang- dengan tidak memperhatikan ketepatan. Acapkali kepercayaan dan praktek seperti politeisme, memakan daging babi, minum minuman keras, dan promiskuitas seksual -yang sangat bertentangan dengan kepercayaan dasarnya- diarahkan kepada Islam dan Muhammad. Muhammad difitnah sebagai pembohong dan anti-Kristus yang menggunakan sihir dan keajaiban untuk mencoba menghancurkan gereja. Seperti diakui oleh penulis (non-Muslim) sebuah biografi awal Nabi Muhammad yang diterbitkan di Barat, "Adalah aman untuk mengatakan hal-hal jelek tentang seseorang yang kejahatannya melampaui segala perbuatan jahat yang dapat dikatakan."[4] Epik besar pada saat itu menyebarkan kebodohan dan distorsi, yang menggambarkan kaum Muslim yang menyembah patung sedang menyembah Tuhan mereka, Muhammad, "di sinagog (dengan demikian semakin mendekatkan Islam kepada kepercayaan Yahudi yang tidak dapat diterima) atau di mahomeri." Maxime Rodinson berkata: "Fiksi murni, yang sasarannya hanya untuk menarik perhatian pembaca dicampur aduk dalam proporsi yang beraneka ragam dengan kesalahpahaman yang mengobarkan kebencian musuh."[5]
Pada masa Reformasi, setelah berabad-abad dalam ketakutan dan permusuhan, Islam terbukti merupakan alat yang tepat dalam serangan-serangan polemik di antara kaum Kristen, lambang bahaya anti-Kristus. Martin Luther memandang Islam "dalam gaya abad pertengahan, sebagai suatu gerakan kekerasan untuk melayani anti-Kristus; itu tidak dapat diubah karena tertutup bagi akal; hanya dapat dihentikan dengan pedang dan bahkan dengan suatu usaha yang sulit."[6] Pada abad-abad berikutnya, Islam terus dipergunakan sebagai sesuatu yang jelek bagi para penulis yang mengunggulkan prinsip dan kebajikan Pencerahan. Fanaticism, or Muhammad the Prophet karya Voltaire menggambarkan Nabi Muhammad sebagai tiran yang teokratis. Ernest Renan, dalam sebuah kuliah yang sering dikutip, mengunggulkan sains dan nalar serta kemajuan manusia, dengan mengatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan sains, dan bahwa kaum Muslim tidak mampu belajar ataupun membuka diri terhadap gagasan-gagasan baru.[7] Stereotip tradisi agama yang statis, irasional, tidak ada kemajuan dan antimodern ini diabadikan oleh para pakar dan teori pembangunan dalam abad ke-20. Walaupun dunia Islam dan Kristen sangat membanggakan agama dan kekayaan tradisi belajar dan peradaban mereka, dinamika sejarah hubungan Islam-Kristen kerap menjumpai kedua umat tersebut bersaing, dan terkadang terperangkap dalam peperangan, untuk mendapatkan kekuasaan, tanah dan jiwa. Akibatnya, mereka lebih sering bermusuhan daripada bersikap sebagai sesama Ahlul Kitab yang berusaha mematuhi dan mengabdi kepada Tuhan mereka. Bagi Kristen, Islam terbukti sebagai ancaman ganda, baik dalam hal agama maupun politik, yang sering mengancam untuk menyerang Eropa, mula-mula di Poitiers dan akhirnya di gerbang Wina. Bukan lelucon jika beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa jika tentara Muslim tidak dikalahkan di Poitiers, mungkin bahasa Oxford, dan juga bahasa Eropa sendiri, adalah bahasa Arab! Gereja Kristen yakin memiliki kebenaran dan ditakdirkan untuk mengemban misi menyelamatkan maksud-maksud kepausan dan kerajaan yang absah. Selain itu, ia memperkuat perasaan unggul dan benar yang memberikan alasan bagi mencemarkan nama musuh secara religius, intelektual dan kultural. Sikap-sikap yang sama ini membuahkan keberhasilan bagi tentara Muslim dan penyebaran Islam yang cepat oleh para tentara, pedagang, dan da'i yang lebih merupakan tantangan bagi agama dan kekuasaan Kristen. Kalau sepuluh abad pertama tampak sebagai pertandingan yang tidak seimbang di mana Kristen lebih sering terkepung, masa awal kolonialisme Eropa menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan: sejak itu kolonialisme mendominasi sejarah dan jiwa kaum Muslim, dan terus menerus, dan kadang-kadang secara dramatis, mempengaruhi hubungan antara Islam dan Barat sampai kini. Dengan adanya Revolusi Iran tahun 1978-1979 dan yang lebih akhir, Perang Teluk 1991, citra pejuang Salib dan imperialisme Barat tetap hidup, suatu pengalaman yang benar-benar hidup dalam kesadaran dan retorika politik kaum Muslim. [] Catatan kaki: [6]: Hourani, Europe and the Middle East, hlm. 10. [7]: Ibid., hlm. 12.Sumber.
No comments:
Post a Comment