"É Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu rakyat" (Karl Marx in introduction to the critique of Hegel's Philosophy,Oxford University; 1981)Beberapa hari terakhir, ungkapan Karl Marx yang sangat populer di atas serasa terus menghantui pikiran. Tentu saja, hal ini tidak otomatis berarti saya adalah pengagum berat filsafat Marx. Tapi seandainya anda berada di siniÉbersama-sama kita menyaksikan tragedi demi tragedi yang telah meminta tumbal sekian ribu nyawa dan kemerdekaan manusia, mungkin anda akan digayuti keresahan yang sama.
Sebutlah dua tragedi sebagai misal: demonstrasi atas novel "Walîmah li A'syâbi al-Bahr" (Kenduri Rumput Laut) karya Haydar Haydar di Mesir, serta, Pembantaian ratusan santri Pondok Pesantren Wali Songo di Poso, Sulawesi Tengah. Tragedi yang disebutkan pertama malah menjadi catatan sejarah yang amat khas, terutama bagi bangsa Mesir pada umumnya serta pemerintahan Mubarak Khususnya.
Hari itu tanggal 9 Mei 2000, dini hari. Dalam gerombolan yang rapi dan menyemut, ribuan mahasiswa al-Azhar (yang asli Mesir) bergerak keluar dari asrama mereka. Angin malam yang bertiup cukup kencang tiada menyurutkan tekad mereka. Sebuah petaka, sebuah kenistaan harus dicegah: lewat seruan yang sangat heroik dan membuat bulu kuduk berdiri, mereka hendak menggagalkan niat kementerian budaya Mesir untuk menerbitkan novel "Kenduri Rumput Laut". Bagi mereka, novel karangan Haydar Haydar tersebut memang memuat ide-ide yang haram diungkapkan. Ia tidak hanya menghina Nabi Muhammad Saw.--sebagaimana Salman Rushdie, tapi lebih dari itu juga dianggap telah melecehkan Sang Khâliq: Allâh Swt. Bisa jadi, tidak semua demonstran yang berbaris menyemut itu telah membaca novel Haydar. Namun bagaimanapun, atas nama kehormatan agama, perkara ini harus tetap diselesaikan dengan cara "yang selayaknya".
Ketika hari semakin terang, barisan para demonstran tampak membesar. Konon jumlah mereka lebih dari lima ribu orang. Jalanan utama Nasr City, Cairo, dibuatnya macet total. Kali ini, para mahasiswi pun riuh bergabung. "Dengan nyawaÉdengan darahÉakan kami pertahankan kehormatan agama!!!" demikian histeria mereka memenuhi langit Nasr City. Pemerintahan Mesir yang relatif 'kurang memiliki jam terbang' menghadapi demonstrasi besar semacam ini, tampak panik. Tak kurang dari lima puluhan truk penuh dengan prajurit militer dikerahkan. Gas air mata dan peluru karet pun dihamburkan secara membabi-buta.
Agaknya, bagi pemerintah Mesir, cara yang ditempuh oleh para mahasiswa(i) ini merupakan sebuah bentuk "promosi kekacauan umum". Karena itulah mereka harus ditindak tegas. Sebaliknya, di mata para demonstran, pemerintah dianggap telah membiarkan sebuah petaka dan kenistaan berlangsung. Itu sebabnya mereka menggelar "parlemen jalanan" yang dirasa sebagai sebuah cara yang lebih terhormat.
Sementara tragedi kedua, terjadi nun jauh di bagian timur Indonesia sana. Di Desa Togolu, kecamatan Lage, yang semula damai dan tenteram. Motifnya ternyata sama: atas nama agama, sebuah kehormatan mesti ditegakkan dengan "cara yang layak". Apapun juga nama serta bentuknya. Dan sebuah tragedi yang amat memilukan pun tergelar: Umat Kristiani dengan persenjataan lengkap menyerang, membunuh, dan membantai ratusan santri di PP. Wali Songo, Poso. Konon, mayat yang sudah teridentifikasi saja mencapai 200 orang (Kompas,13 Juni 2000). Sedang ratusan santri Wali Songo lainnya melarikan diri ke hutan-hutan yang terdapat di sekitar pesantren, dalam keadaan terluka dan diliputi ketakutan.
Tentu saja, Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) ketiban sampur untuk menjelaskan motif yang melatar-belakangi tragedi ini. Setiap peristiwa memiliki motifnya sendiri-sendiri. Dan hanya sebuah motif yang wajarlah yang layak memperoleh kemakluman. Beberapa hari kemudian, lewat buku putih yang disebarkan secara luas, GKST menjelaskan bahwa peristiwa ini ibarat serial tragedi Poso jilid 3. Ia hanyalah sebuah rentetan yang terjadi secara alami akibat terbantainya 7 orang kristen, serta dibakarnya 4 bangunan gereja, pada tragedi Poso jilid 2.
Dalam surat dan dokumen setebal 24 halaman folio yang ditujukan kepada Komnas HAM, Ir. Advent Lateka, seorang tokoh kristen Poso, menulis sederet kalimat yang membakar, "Berikan kebebasan kepada kami membantu pemerintah untuk memburu provokator dan perusuh serta menindaknya sebagai jaminan pemulihan keamanan." Agaknya, di benak Lateka, dunia memang sudah tidak memberikan tempat lagi bagi kedamaian dan budaya hidup rukun serta berdampingan. Tapi bisa jadi, orang semacam Lateka salah. Sebab itulah tak lama berselang, dalam sebuah insiden, ia tewas ditembak Brimob polisi daerah Sulteng.
Dalam tragedi Haydar Haydar dan Poso di atas: dua kekecewaan, dua sakit hati, serta dua dendam tergambarkan secara vulgar. Kita seolah-olah dipaksa untuk kehilangan batasan-batasan yang jelas antara penganiayaan dan pembelaan diri; antara dendam dan kehormatan. Ironisnya, seperti yang terjadi pada banyak tragedi memilukan lainnya, anarki-anarki tersebut dibungkus dalam kemasan nilai-nilai agama yang luhur dan penuh rahmat.
Bila kita amati lebih jauh lagi, sedikitnya terdapat tiga faktor mendasar yang memicu pertikaian 'atas nama' agama tersebut. Yaitu secara berurutan: Pertama, kerancuan pemahaman mayoritas umat terhadap agama-agama yang dianutnya. Kerancuan ini tampaknya telah menjadi fenomena umum. Yakni, bahwa agama manapun --baik itu Islam, Kristen, dst.-- ternyata lebih dipandang sebagai simbol daripada sebagai sebuah al-dîn yang bersubstansikan keimanan. Dalam cara pandang semacam ini, agama menjadi tak lebih dari gugusan praktek jasmaniah dan ritus-ritus seperti sembahyang, nyanyian, puasa, semedi, upacara kematian, dst., yang kering akan nilai-nilai rohaniah.
Dampak yang kemudian harus kita tolerir adalah hilangnya kekuatan dan akses agama untuk menjadi penuntun dan control of life bagi para pemeluknya. Dalam konteks tersebut, Shalat -misalnya-- menjadi tak lagi mampu mencegah seorang muslim agar jangan sampai berbuat nista dan dosa. Sebagaimana firman Allâh Swt. "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari --perbuatan--perbuatan-- keji dan mungkar" (Qs. 29; 45). Dan begitu seterusnya dengan agama dan umat yang lain.
Kedua, keterikatan mayoritas umat terhadap agama yang dipeluknya ternyata cenderung didasari oleh ikatan emosional ketimbang ikatan keimanan. Relasi yang berkembang antara agama dan pemeluknya kemudian mengalami pergeseran dari tataran iman yang tumbuh secara organis dalam bingkai pengetahuan dan kesadaran yang utuh, menuju tataran fanatisme buta yang dilandasi oleh sentimen-sentimen serta emosi belaka.
Tataran yang disebutkan pertama, dapat dipastikan akan menuntun setiap umat beriman (apapun juga agamanya) untuk bisa berpikir lebih jernih dan objektif dalam menyikapi setiap permasalahan yang berkembang, berdasarkan ajaran-ajaran agamanya. Mereka inilah yang kemudian memiliki keniscayaan untuk membumikan nilai-nilai luhur dan penuh rahmat dari masing-masing agama yang dianut. Sementara tataran yang kedua cenderung menjerumuskan umat pada cara-cara pandang yang serba subjektif, egois, emosional, bahkan anarkis. Dalam perspektif seperti inilah agama sebagai the way of life akan jatuh pada posisi terendahnya. Ia hanya menjadi simbol yang mati, statis, serta hampa akan muatan nilai-nilai luhur. Pada fase selanjutnya, agama pun bisa menjelma sebatas identitas diri yang amat sensitif dan rawan akan pertikaian. Na'ûdzubillâh!!
Ketiga, adanya aspek-aspek eksternal (di luar) hubungan antar umat beragama per se, yang seringkali direkayasa oleh kalangan elit kekuasaan tertentu agar bisa menciptakan bentrokan di lapisan grass root umat beragama; demi mewujudkan kepentingan mereka. Faktor ini dapat kita lihat dari merebaknya berita tentang adanya "tangan setan" para provokator dari Jakarta dalam beberapa kasus kerusuhan antar umat beragama di daerah. Meskipun hanya sebatas rumor yang tak memiliki kekuatan hukum, sampai tingkatan tertentu hal tersebut perlu juga kita waspadai. Ibaratnya, seperti kata pepatah: tak ada asap bila tak ada api.
Maka upaya penyelesaian dari pertikaian antar umat beragama di Ambon, Maluku, Poso, dst., tidak hanya menghajatkan pemecahan keamanan semata. Penanganan keamanan oleh militer -itupun bila sunguh-sungguh- maksimal hanya menyentuh wilayah permukaan dari anatomi konflik ini secara integral. Begitu pengawasan keamanan kendor, besar kemungkinan pertikaian sejenis akan terulang kembali. Baik dalam skala yang persis sama dengan tragedi-tragedi yang pernah terjadi sebelumnya, atau bahkan dalam skala yang lebih besar dan meluas lagi.
Pada hakikatnya, penyelesaian pertikaian antar umat beragama memang lebih menghajatkan penanganan 'ke dalam'. Yakni, penanganan yang terfokus pada upaya peningkatan penghayatan setiap individu akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agamanya. Penanganan semacam ini memang kurang bersifat instant, tapi dijamin lebih kuat pengaruhnya dalam mewujudkan kerukunan yang hakiki antar umat beragama tersebut.
Sedikitnya, ada dua langkah yang bisa dilakukan dalam kerangka penanganan 'ke dalam' ini. Satu, mengubah cara pandang umat terhadap agama dari citra yang impersonal menuju citra yang personal. Dari sesuatu yang simbolistik menjadi sesuatu yang substantif. Karena, memang, hal yang paling esensial dari keberadaan suatu agama bukanlah penyelenggaraan ritus-ritus dan upacara praksis keagamaan lainnya; melainkan bagaimana nilai-nilai keluhuran, keadilan, kemanusiaan, rahmat dan kedamaian -yang notebene merupakan pesan pokok turunnya agama itu sendiri-bisa teraplikasi dalam keseharian para pemeluknya. Dalam wawasan agama Islam misalnya, Allâh Swt. Berfirman: "Dan bukanlah kebajikan itu memasuki rumah-rumah [kabah] dari pintu belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang bertakwa " (Qs. 2; 189).
Agama bukanlah sekumpulan doktrin yang mati, statis, simbolis, ataupun utopis. Agama harus benar-benar dipahami sebagai kesatuan nilai-nilai tersebut di atas yang amat personal dan realistis. Sebab itulah penghayatan keagamaan yang baik bisa dilihat dari amal perbuatan, moralitas, serta praktek kehidupan sosial setiap umat.
Dua, mengembangkan dialog antar umat beragama. Sejauh ini, wacana dialog antar agama cenderung menjadi konsumsi kalangan elit umat beragama saja. Sementara pada tingkatan grass root umat, wacana ini relatif asing. Padahal, potensi konflik antar umat beragama justru menguat pada level akar rumput. Maka diperlukan pengembangan wacana dialog antar agama dengan lebih intens lagi melibatkan kalangan grass root umat.
Pada tahap awal, dialog tersebut bisa berupa kajian masing-masing umat terhadap ajaran agamanya tentang pesaudaraan, kemanusiaan, interaksi antar umat beragama, dst. Karena tohk pada setiap agama itu terdapat nilai-nilai universal yang bisa menyatukan persepsi setiap pemeluk agama yang berbeda akan hubungan sosial yang sehat dan wajar. Dan pada tahapan berikutnya, umat dari agama yang berbeda tersebut bisa mulai membicarakan permasalahan yang mereka hadapi secara bersama-sama, dalam format "kita" semua berbicara tentang "kita". Bukan lagi dalam format "kami" berbicara tentang "kalian".
Demikianlah, kita patut bersyukur bahwa pemerintah tampak semakin serius menangani konflik antar umat beragama di Maluku, Ambon, dst. Indikasi yang paling gres adalah dengan diberlakukannya keadaan darurat sipil di Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Namun, seperti telah dipaparkan di muka, penanganan keamanan semacam ini hanya bersifat jangka pendek dan temporer belaka. Perlu penanganan yang lebih holistik, substansial, dan secara efektif bisa menyelesaikan persoalan hingga ke akar-akarnya. Salah satu bentuknya adalah dengan melakukan revitalisasi pennghayatan umat terhadap ajaran-ajaran agamanya sebagai sebuah kesatuan nilai-nilai luhur dan moralitas yang dinamis. Sebab bila hal ini tidak dilakukan, dan anarkisme 'atas nama' agama terus-menerus berlanjut, betapa dengan segenap kegetiran kita harus menerima kata-kata Marx bahwa agama itu adalah candu. Bahkan mungkin racun yang akan menghancurkan kehidupan para pemeluknya. Selamat belajar, berjuang dan berdoa...!
Sumber.
No comments:
Post a Comment