Tak lama setelah Perang Salib berlalu, Eropa sekali lagi harus berhadapan dengan ancaman kekuatan kaum Muslim yang berupa kerajaan Utsmaniyah. Kerajaan Utsmaniyah adalah salah satu di antara tiga kesultanan besar Muslim abad pertengahan: Utsmaniyah, Safawiyah di Iran, dan Mogul di India. Seperti yang ditulis oleh C.E. Bosworth, lebih daripada kerajaan lain sejak masa awal penaklukan dan ekspansi Arab, "Orang Turki Utsmaniyah telah menimbulkan ketakutan di hati Eropa Kristen, sehingga Richard Knollys, ahli sejarah Turki di masa Elizabeth mengungkapkannya sebagai 'teror dunia masa kini.'"[1] Setelah merebut Konstantinopel pada tahun 1453, Utsmaniyah mulai membangun negara besar yang benar-benar terorganisasi, hirarkis dan efisien. Ibukota kerajaan, Istanbul, dengan penduduk yang tumbuh menjadi 700.000 -dua kali lebih besar dari negara lawan, Eropa- menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan internasional.[2] Utsmaniyah menjadi pasukan besar Islam yang menciptakan kerajaan dunia yang meliputi pusat Muslim yang utama seperti Kairo, Baghdad, Damaskus, Makkah, dan Madinah. Mereka mengancam Eropa selama hampir dua abad. Deretan sultan-sultan yang cakap (seperti Mehmet Sang Penakluk 1451-81 , Sulaiman Yang Agung 1520-66), memimpin angkatan darat dan laut Utsmaniyah yang menguasai sebagian besar Mediterania dan Samudera India. Mereka menciptakan kerajaan yang ukuran, kemakmuran, pemerintahan, dan kebudayaannya menyaingi Abbasiyah. Kerajaan Utsmaniyah menguasai negara-negara Balkan yang Kristen dan juga sebagian besar Timur Tengah serta Afrika Utara. Seperti pada awal penaklukan Arab, kebijaksanaan mereka terhadap Kristen Ortodoks dan minoritas agama lainnya seringkali diterima dengan baik oleh penduduk: "Kebijaksanaan 'hidup dan biarkan hidup' ini sangat kontras dengan kefanatikan negara-negara Kristen pada saat itu. Kaum petani Balkan pada masa Mehmet seringkali berucap: 'Lebih baik turban Turki daripada tiara Paus.'"[3] Namun, kalau di Balkan banyak orang menganggap Utsmaniyah sebagai pembebas, Eropa tampaknya mengalami trauma. Para penulis dan ahli agama berusaha memperbaharui kecaman-kecaman terhadap musuh yang menjadi ciri masa Perang Salib... Kardinal Bessanon, yang menulis kepada The Doge of Venice setelah jatuhnya Kollstantinopel, menentukan nada bagi perlakuan buruk selama satu abad: "Sebuah kota yang sedemikian maju... kemuliaan dan keagungan Timur... tempat segala keindahan, telah direbut, dirusak, dan benar-benar dirampas oleh bangsa barbar yang paling tidak manusiawi... oleh binatang buas yang paling menakutkan... Bahaya mengancam Italia, belum lagi tempat-tempat lainnya, jika musuh besar barbar yang sangat menakutkan itu tidak dicegah.[4]
Kata-kata yang kasar dan propaganda dipopulerkan oleh karya terlaris Bartholomew Gregevich dari Kroasia, Miseries and Tribulations of the Christians Held in Tribute and Slavery by the Turks.[5] Turki yang bermusuhan, yang lebih banyak diinformasikan dengan hawa nafsu daripada dengan nalar, mengalahkan kalangan suara minoritas diplomat dan ilmuwan yang benar-benar melihat Turki atau mempelajari Turki dengan adil dan, seperti ahli filsafat politik Perancis, Jean Bodin, yang dapat mencatat: Raja Turki yang memerintah sebagian besar Eropa melindungi ritus agama dan para pangeran di dunia ini. Dia tidak memaksa seorang pun, tetapi justu mengizinkan orang untuk hidup sesuai dengan panggilan jiwanya. Lebih lagi, di istananya di Pera ia mengizinkan praktek empat macam agama, Yahudi, Kristen menurut ritus Roma, dan menurut ritus Yunani, serta Islam.[6] Ancaman Utsmaniyah memberikan kontribusi pada perkembangan "Eropa" sebagai pusat identitas dari ikatan bersama di dalam Kristen Eropa yang terpecah-pecah sebagai akibat reformasi. Karena itu, "Erasmus mendesak bangsa Eropa tidak lagi menyebutnya sebagai kekuatan Kristen- untuk memerangi Turki."[7] Kekuasaan dan keagungan Utsmaniyah terjadi berkat perkembangan sistem pelatihan para pemuda dalam kemiliteran dan administrasi. Hal itu menghasilkan birokrasi dan militer kelas satu yang benar-benar bertumpu pada para ulamanya serta satuan pejabat dan tentara budak elite, Janisari (salah satu bagian invanteri Turki - penerjemah). Para pemuda Kristen diambil dari penduduk Balkan yang ditaklukkan, dan setelah itu dari Anatolia, mereka masuk Islam dan dikirim ke sekolah-sekolah khusus yang melatih dan menghasilkan bergenerasi-generasi pejabat Utsmaniyah. Gabungan pejabat yang berkualitas tinggi dan militer yang terlatih dan berdisiplin dan mampu memantaatkan serbuk mesiu menjadikan Utsmaniyah dapat menaklukkan wilayah besar Arab dan Eropa: "Disiplin dan daya tembak tentara inilah (tentara Utsmaniyah menggunakan artileri dan senjata tangan...) yang menciptakan citra keperkasaan dan kekuatan Utsmaniyah di Eropa.[8] Kira-kira delapan ratus tahun setelah ancaman pertama Arab ke Eropa, Islam, yang kini berada di tangan Turki, tampak lebih mengancam. Setelah menguasai Balkan, tampaknva mereka siap menguasai Eropa Barat. Sejak abad ke- 15 hingga 17 pasukan Utsmaniyah tampaknya terlalu kuat untuk kaum Kristen Eropa. Namun kekalahan angkatan laut Utsmaniyah di Lepanto pada tahun 1571 merupakan titik balik yang dianggap sebagai kemenangan Kristen Eropa melawan Muslim Turki, dan keberhasilan pertahanan Wina pada tahun 1683 memperkuat runtuhnya ancaman Utsmaniyah dan pergeseran kekuasaan ke tangan Eropa yang kini percaya diri dan memperoleh kekuatannya kembali. "Bencana Kristen" segera menjadi "orang sakit Eropa."[9] Perang Salib dan kerajaan Utsmaniyah jelas menunjukkan bahwa walaupun akar teologis Kristen dan Islam sama, kepentingan politik dan agama yang terus bersaing menghasilkan sejarah konfrontasi dan peperangan dimana Eropa Kristen selama berabad-abad sering bertahan terhadap tentara Muslim, yang tampaknya kadangkala bertempur demi eksistensinya. Catatan kaki: [5]: Ibid., hlm. 147. [6]: Ibid., hlm. 151. [7]: Ibid., hlm. 148. [8]: Bosworth, "Historical Background," hlm. 25. [9]: Ibid., hlm. 139.Sumber.
ini translate dari buku the islamic threat, myth r reality? yang second edition kan...
ReplyDelete