Jika ajakan orang-orang Islam adalah menaati kehendak Tuhan,
maka mengetahui kehendak Tuhan merupakan suatu keharusan.
Kalau dogma atau doktrin merupakan ciri pernyataan penting
agama Kristen, maka Islam seperti Yudaisme, menemukan
pengekspresian utamanya dalam hukum.[1] Suatu disiplin yang
dominan untuk mendefinisikan agama adalah hukum, bukan
teologi. Bagi ahli-ahli hukum Islam, wahyu Tuhan dan
teladan-teladan kerasulan merupakan titik awal untuk
memperhatikan dan menerapkan kehendak Tuhan dalam setiap
aspek kehidupan. Baik pesan Al-Quran maupun Sunnah Nabi
menunjukkan kelengkapan jalan hidup Islam, dimensi-dimensi
umum dan individualnya. Dalam beberapa abad setelah
meninggalnya Nabi Muhammad, kaum Muslim telah
mengkodifikasikan jalan hidup mereka. Kaum Muslim yang taat
merasa prihatin melihat kekuasaan pemerintah Muslim yang tak
terkendali dan juga infiltrasi serta asimilasi
praktek-praktek asing yang tidak kritis, berusaha memberikan
gambaran mengenai hukum Tuhan dengan tujuan untuk
mengabadikan jalan Tuhan yang sejati dan membatasi kekuasaan
para khalifah.
Berdasarkan Al-Quran dan teladan Rasul serta mempergunakan
adat istiadat dan nalar, para ahli hukum melahirkan
mazhab-mazhab hukum (fiqh) yang tersebar di banyak kota
besar Islam: Makkah, Madinah, Damaskus, Baghdad, Kufah.
Walaupun tujuannya sama dan berdasarkan sumber wahyu yang
sama, kesimpulan mereka seringkali menunjukkan konteks dan
kebiasaan geografis serta orientasi intelektual yang
berbeda. Dari banyak mazhab hukum yang muncul, beberapa di
antaranya -Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, dan Ja'fari-
terus hidup dan bertahan.
Hukum Islam memberikan cetak-biru masyarakat yang baik,
ideal Islam. Karenanya, Syari'ah atau Jalan Tuhan merupakan
serangkaian prinsip umum, arah, dan nilai-nilai yang
diwahyukan Tuhan untuk membangun peraturan dan cara-cara
yang rinci yang pada gilirannya diterapkan oleh para hakim
(qadhi) di pengadilan-pengadilan agama.
Ruang lingkup hukum Islam sangat lengkap, mencakup
peraturan-peraturan yang mengatur ibadah dan memberikan
batasan norma-norma sosial masyarakat. Yang merupakan pusat
agama adalah lima pilar (Rukun Islam; penerjemah) atau tugas
utama yang diwajibkan atas semua orang beriman.
1. Syahadat merupakan tanda masuknya seseorang kedalam
masyarakat Islam: "Tidak ada tuhan kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah."
2. Shalat lima kali sehari pada waktu-waktu yang telah
ditentukan, dan melaksanakan shalat Jumat.
3. Zakat, dua setengah persen dari kekayaan seorang Muslim,
yang harus dibagikan kepada orang miskin bukan karena
kedermawanan tetapi sebagai kewajiban agama setiap Muslim
kepada saudara-saudara seagamanya yang kurang beruntung.
4. Puasa sejak subuh hingga menjelang malam selama satu
bulan dalam bulan Ramadhan.
5. Menunaikan ibadah haji ke Makkah paling sedikit sekali
seumur hidup, suatu tugas yang diwajibkan kepada semua
Muslim yang mampu dan mempunyai sumber keuangan yang cukup
untuk melakukannya.
Lima pilar itu merupakan penggabungan antara tanggung-jawab
individu, kesadaran sosial dan kesadaran kolektif atau
keanggotaan dalam masyarakat Islam yang lebih luas.
Dimensi sosial hukum tersebut tercakup dalam serangkaian
peraturan atau norma yang mengatur keluarga, kriminalitas,
kontrak, dan hukum intemasional. Di sini secara khusus dapat
dilihat pengaruh Islam baik terhadap kehidupan pribadi
maupun umat. Peraturan yang lengkap mengatur perkawinan,
poligami, perceraian, harta waris, pencurian, perzinaan,
minum-minuman keras, dan masalah-masalah peperangan dan
perdamaian.
Hukum Islam memiliki kesatuan pokok. Ia mencerminkan
keragaman konteks geografis, dan juga perbedaan-perbedaan
yang menyangkut interpretasi atau penilaian manusia. Maka,
hukum Islam tidak kaku dan tidak tertutup, tetapi justru
mewujudkan kedinamisan, fleksibilitas, dan keanekaragaman.
Di tangan para ahli hukum (mufti) yang mengabdi sebagai
penasihat dalam pengadilan, hukum tersebut tetap tanggap
terhadap lingkungan yang baru. Interpretasi mereka (fatwa)
baik dalam hal-hal hukum maupun yang menyangkut hal-hal
baru, seringkali membimbing kearah keputusan pengadilan.
Namun, pada abad ke-10, hukum Islam memang cenderung menjadi
lebih kaku karena banyak ahli hukum menyimpulkan bahwa
pokok-pokok hukum Tuhan telah dilukiskan secara memadai
dalam teks-teks hukum. Dengan demikian ada kecenderungan
untuk membatasi interpretasi yang substansif (ijtihad) dan
menekankan kewajiban untuk mengikuti (taqlid) saja teks-teks
hukum Islam. praktek-praktek atau doktrin-doktrin baru
dituduh sebagai menyimpang (bid'ah) dari hukum Tuhan.
Inovasi yang tidak mempunyai jaminan kerap disebut sebagai
bid'ah. Akibatnya, perbedaan antara hukum Tuhan yang yang
abadi yang ada dalam wahyu dan banyak peraturan hukum yang
merupakan hasil penalaran manusia yang tak luput dari
kesalahan atau adat-istiadat setempat, menjadi kabur dan
dilupakan. Masalah hukum Islam dan perubahan menjadi isu
utama pada abad ke-19 dan 20, ketika kaum Muslim menanggapi
pengaruh modernisasi dan pembangunan.
Sumber.
No comments:
Post a Comment