Penduduk asli wilayah yang ditaklukkan dapat digolongkan ke dalam tiga umat "skriptural" (ahlul kitab) besar: umat Kristen, Yahudi, dan Zoroaster. Bagi banyak penduduk non-Muslim di Byzantium dan Persia yang telah menyerah kepada pemerintah asing, peraturan Islam berarti perubahan pemerintah, yang seringkali lebih fleksibel dan toleran, bukannya kehilangan kemerdekaan. Banyak dari penduduk tersebut kini menikmati otonomi lokal yang lebih besar dan seringkali pajak yang dibayar lebih rendah. Wilayah Arab yang pernah direbut Byzantium mengganti pemerintah Yunani-Roman dengan pemimpin-pemimpin Arab yang baru, sesama Semit yang mempunyai afinitas linguistik dan kebudayaan dengan penduduk. Islam terbukti merupakan agama yang lebih toleran, memberikan kebebasan beragama yang lebih besar bagi orang-orang Yahudi dan Kristen. Sebagian besar gereja Kristen setempat sebelumnya dicap sesat oleh Kristen ortodoks "asing." Dengan alasan-elasan inilah sebagian orang Yahudi dan Kristen membantu tentara Islam yang melakukan invasi. Francis Peters telah mengamati:[1] Penaklukan itu hanya sedikit merusak: yang mereka berangus adalah persaingan kerajaan dan pertikaian sektarian di antara para penduduk taklukan. Kaum Muslim mentoleransi agama Kristen tetapi menjadikannya tidak established; karena itu kehidupan dan tata kebaktian, politik, dan teologi orang-orang Kristen menjadi urusan pribadi, bukan urusan umum. Dengan ironi itu, Islam mereduksi status orang-orang Kristen seperti apa yang mereka (orang-orang Kristen) lakukan dahulu terhadap orang-orang Yahudi, dengan satu perbedaan. Pereduksian status orang Kristen ini semata-mata bersifat yudisial; tidak disertai dengan pengejaran yang sistematis atau pembunuhan, dan pada umumnya tidak dilakukan dengan perilaku rendah, walaupun hal ini tidak terjadi di setiap tempat dan setiap waktu.[2] Para penguasa Muslim cenderung tidak mengubah birokrasi dan lembaga-lembaga pemerintah. Umat beragama bebas menjalankan agama mereka dan urusan-urusan intern mereka diatur oleh hukum dan pemimpin agama mereka. Seperti disebutkan di atas, umat beragama diharuskan membayar pajak kepala(head/poll tax), dan sebagai imbalannya perlindungan dan kedamaian menjadi hak mereka; dengan demikian mereka dikenal sebagai "orang-orang yang dilindungi." Ideal Islam adalah untuk menciptakan suatu dunia dimana, dibawah penguasa Muslim, penyembahan berhala dan paganisme dimusnahkan, dan semua ahlul kitab dapat hidup dalam sebuah masyarakat yang dibimbing dan dilindungi oleh kekuasaan Islam. Jika Islam dianggap sebagai agama Tuhan yang terakhir dan sempurna, maka umat lain harus diajak, mula-mula melalui pembujukan tanpa menggunakan pedang, untuk masuk kedalam agama Islam. Dengan demikian kaum non-Muslim diberi tiga pilihan: (1) masuk Islam dan menjadi anggota umat sepenuhnya; (2) tetap dalam agama masing-masing dan membayar pajak kepala; (3) jika mereka menolak Islam atau status "dilindungi," maka berperang dibolehkan, sampai peraturan Islam diterima. Catatan kaki: [1]: R. Stephen Humpreys, Islamic History A Framework for Inquiry (Minneapolis, Minnesota: Bibliotheca Islamica, 1988), hlm. 250. [2]: Francis E. Peters, "The Early Muslim Empires: Ummayads, Abassids, Fatimids," dalam Marjorie Kelly, ed., Islam: The Religious and Political Life of a World Community (New York: Praeger, 1984), hlm.79. Sumber. | |
|
|
Tuesday, May 7, 2013
KAUM NON-MUSLIM DI NEGARA ISLAM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment