Tuesday, May 7, 2013

HUKUM ISLAM: JALAN YANG LURUS

 
 
Jika ajakan orang-orang Islam adalah menaati kehendak Tuhan,
maka  mengetahui  kehendak  Tuhan merupakan suatu keharusan.
Kalau dogma atau doktrin merupakan ciri  pernyataan  penting
agama   Kristen,  maka  Islam  seperti  Yudaisme,  menemukan
pengekspresian utamanya dalam hukum.[1] Suatu disiplin  yang
dominan  untuk  mendefinisikan  agama  adalah  hukum,  bukan
teologi.  Bagi  ahli-ahli  hukum  Islam,  wahyu  Tuhan   dan
teladan-teladan   kerasulan   merupakan   titik  awal  untuk
memperhatikan dan menerapkan  kehendak  Tuhan  dalam  setiap
aspek  kehidupan.  Baik  pesan  Al-Quran  maupun Sunnah Nabi
menunjukkan kelengkapan jalan hidup  Islam,  dimensi-dimensi
umum   dan   individualnya.   Dalam  beberapa  abad  setelah
meninggalnya   Nabi    Muhammad,    kaum    Muslim    telah
mengkodifikasikan  jalan hidup mereka. Kaum Muslim yang taat
merasa prihatin melihat kekuasaan pemerintah Muslim yang tak
terkendali    dan    juga    infiltrasi    serta   asimilasi
praktek-praktek asing yang tidak kritis, berusaha memberikan
gambaran   mengenai   hukum   Tuhan   dengan   tujuan  untuk
mengabadikan jalan Tuhan yang sejati dan membatasi kekuasaan
para khalifah.
 
Berdasarkan  Al-Quran  dan teladan Rasul serta mempergunakan
adat  istiadat  dan  nalar,  para  ahli   hukum   melahirkan
mazhab-mazhab  hukum  (fiqh)  yang  tersebar  di banyak kota
besar Islam:  Makkah,  Madinah,  Damaskus,  Baghdad,  Kufah.
Walaupun  tujuannya  sama  dan berdasarkan sumber wahyu yang
sama, kesimpulan mereka seringkali menunjukkan  konteks  dan
kebiasaan   geografis   serta   orientasi  intelektual  yang
berbeda. Dari banyak mazhab hukum yang muncul,  beberapa  di
antaranya  -Hanafi,  Maliki,  Syafii,  Hambali, dan Ja'fari-
terus hidup dan bertahan.
Hukum Islam  memberikan  cetak-biru  masyarakat  yang  baik,
ideal  Islam. Karenanya, Syari'ah atau Jalan Tuhan merupakan
serangkaian  prinsip  umum,  arah,  dan   nilai-nilai   yang
diwahyukan  Tuhan  untuk  membangun  peraturan dan cara-cara
yang rinci yang pada gilirannya diterapkan oleh  para  hakim
(qadhi) di pengadilan-pengadilan agama.
 
Ruang   lingkup   hukum   Islam   sangat  lengkap,  mencakup
peraturan-peraturan  yang  mengatur  ibadah  dan  memberikan
batasan  norma-norma sosial masyarakat. Yang merupakan pusat
agama adalah lima pilar (Rukun Islam; penerjemah) atau tugas
utama yang diwajibkan atas semua orang beriman.
 
1. Syahadat  merupakan  tanda  masuknya  seseorang  kedalam
masyarakat  Islam:  "Tidak  ada  tuhan  kecuali  Allah   dan
Muhammad adalah utusan Allah."
 
2. Shalat  lima  kali  sehari  pada  waktu-waktu yang telah
ditentukan, dan melaksanakan shalat Jumat.
 
3. Zakat, dua setengah persen dari kekayaan seorang Muslim,
yang  harus  dibagikan  kepada  orang  miskin  bukan  karena
kedermawanan tetapi sebagai kewajiban  agama  setiap  Muslim
kepada saudara-saudara seagamanya yang kurang beruntung.
 
4. Puasa  sejak  subuh  hingga  menjelang malam selama satu
bulan dalam bulan Ramadhan.
 
5. Menunaikan ibadah haji ke Makkah paling  sedikit  sekali
seumur  hidup,  suatu  tugas  yang  diwajibkan  kepada semua
Muslim yang mampu dan mempunyai sumber keuangan  yang  cukup
untuk melakukannya.
 
Lima  pilar itu merupakan penggabungan antara tanggung-jawab
individu,  kesadaran  sosial  dan  kesadaran  kolektif  atau
keanggotaan dalam masyarakat Islam yang lebih luas.
 
Dimensi  sosial  hukum  tersebut  tercakup dalam serangkaian
peraturan atau norma yang mengatur  keluarga,  kriminalitas,
kontrak, dan hukum intemasional. Di sini secara khusus dapat
dilihat  pengaruh  Islam  baik  terhadap  kehidupan  pribadi
maupun  umat.  Peraturan  yang  lengkap mengatur perkawinan,
poligami, perceraian,  harta  waris,  pencurian,  perzinaan,
minum-minuman  keras,  dan  masalah-masalah  peperangan  dan
perdamaian.
 
Hukum  Islam  memiliki  kesatuan  pokok.   Ia   mencerminkan
keragaman  konteks  geografis,  dan juga perbedaan-perbedaan
yang menyangkut interpretasi atau penilaian  manusia.  Maka,
hukum  Islam  tidak  kaku  dan tidak tertutup, tetapi justru
mewujudkan kedinamisan, fleksibilitas,  dan  keanekaragaman.
Di  tangan  para  ahli  hukum  (mufti) yang mengabdi sebagai
penasihat dalam pengadilan,  hukum  tersebut  tetap  tanggap
terhadap  lingkungan  yang baru. Interpretasi mereka (fatwa)
baik dalam hal-hal  hukum  maupun  yang  menyangkut  hal-hal
baru,  seringkali  membimbing  kearah  keputusan pengadilan.
Namun, pada abad ke-10, hukum Islam memang cenderung menjadi
lebih  kaku  karena  banyak  ahli  hukum  menyimpulkan bahwa
pokok-pokok hukum  Tuhan  telah  dilukiskan  secara  memadai
dalam  teks-teks  hukum.  Dengan  demikian ada kecenderungan
untuk membatasi interpretasi yang substansif  (ijtihad)  dan
menekankan kewajiban untuk mengikuti (taqlid) saja teks-teks
hukum  Islam.  praktek-praktek  atau  doktrin-doktrin   baru
dituduh   sebagai  menyimpang  (bid'ah)  dari  hukum  Tuhan.
Inovasi yang tidak mempunyai jaminan kerap  disebut  sebagai
bid'ah.  Akibatnya,  perbedaan  antara hukum Tuhan yang yang
abadi yang ada dalam wahyu dan banyak peraturan  hukum  yang
merupakan  hasil  penalaran  manusia  yang  tak  luput  dari
kesalahan atau adat-istiadat  setempat,  menjadi  kabur  dan
dilupakan.  Masalah  hukum  Islam  dan perubahan menjadi isu
utama pada abad ke-19 dan 20, ketika kaum Muslim  menanggapi
pengaruh modernisasi dan pembangunan.
 Sumber.

No comments:

Post a Comment