Tuesday, May 7, 2013

KERAJAAN UTSMANIYAH: MUSUH EROPA

Tak lama setelah Perang Salib  berlalu,  Eropa  sekali  lagi
harus  berhadapan  dengan  ancaman kekuatan kaum Muslim yang
berupa kerajaan Utsmaniyah. Kerajaan Utsmaniyah adalah salah
satu   di   antara   tiga   kesultanan   besar  Muslim  abad
pertengahan: Utsmaniyah, Safawiyah di  Iran,  dan  Mogul  di
India.  Seperti  yang  ditulis  oleh  C.E.  Bosworth,  lebih
daripada  kerajaan  lain  sejak  masa  awal  penaklukan  dan
ekspansi  Arab,  "Orang  Turki  Utsmaniyah telah menimbulkan
ketakutan di hati Eropa Kristen, sehingga  Richard  Knollys,
ahli   sejarah  Turki  di  masa  Elizabeth  mengungkapkannya
sebagai  'teror  dunia   masa   kini.'"[1] Setelah   merebut
Konstantinopel  pada  tahun 1453, Utsmaniyah mulai membangun
negara besar yang benar-benar  terorganisasi,  hirarkis  dan
efisien.  Ibukota  kerajaan,  Istanbul, dengan penduduk yang
tumbuh menjadi 700.000 -dua kali  lebih  besar  dari  negara
lawan,   Eropa-   menjadi  pusat  kekuasaan  dan  kebudayaan
internasional.[2] Utsmaniyah menjadi pasukan besar Islam yang
menciptakan  kerajaan  dunia yang meliputi pusat Muslim yang
utama seperti Kairo, Baghdad, Damaskus, Makkah, dan Madinah.
Mereka mengancam Eropa selama hampir dua abad.
 
Deretan   sultan-sultan  yang  cakap  (seperti  Mehmet  Sang
Penakluk 1451-81 , Sulaiman Yang  Agung  1520-66),  memimpin
angkatan  darat  dan laut Utsmaniyah yang menguasai sebagian
besar Mediterania dan  Samudera  India.  Mereka  menciptakan
kerajaan   yang   ukuran,   kemakmuran,   pemerintahan,  dan
kebudayaannya  menyaingi  Abbasiyah.   Kerajaan   Utsmaniyah
menguasai   negara-negara   Balkan  yang  Kristen  dan  juga
sebagian besar Timur Tengah serta Afrika Utara. Seperti pada
awal  penaklukan Arab, kebijaksanaan mereka terhadap Kristen
Ortodoks dan minoritas  agama  lainnya  seringkali  diterima
dengan baik oleh penduduk: "Kebijaksanaan 'hidup dan biarkan
hidup' ini sangat kontras dengan  kefanatikan  negara-negara
Kristen  pada  saat itu. Kaum petani Balkan pada masa Mehmet
seringkali berucap: 'Lebih baik turban Turki daripada  tiara
Paus.'"[3] Namun, kalau  di  Balkan  banyak orang menganggap
Utsmaniyah  sebagai  pembebas,  Eropa  tampaknya   mengalami
trauma.
 
Para   penulis   dan   ahli   agama  berusaha  memperbaharui
kecaman-kecaman terhadap musuh yang menjadi ciri masa Perang
Salib...  Kardinal Bessanon, yang menulis kepada The Doge of
Venice setelah  jatuhnya  Kollstantinopel,  menentukan  nada
bagi  perlakuan  buruk  selama  satu abad: "Sebuah kota yang
sedemikian maju... kemuliaan dan keagungan  Timur...  tempat
segala  keindahan,  telah  direbut, dirusak, dan benar-benar
dirampas oleh bangsa barbar yang paling  tidak  manusiawi...
oleh   binatang   buas   yang  paling  menakutkan...  Bahaya
mengancam Italia, belum  lagi  tempat-tempat  lainnya,  jika
musuh   besar   barbar  yang  sangat  menakutkan  itu  tidak
dicegah.[4]
Kata-kata yang kasar dan propaganda dipopulerkan oleh  karya
terlaris  Bartholomew  Gregevich  dari Kroasia, Miseries and
Tribulations of the Christians Held in Tribute  and  Slavery
by  the  Turks.[5] Turki yang  bermusuhan, yang lebih banyak
diinformasikan dengan  hawa  nafsu  daripada  dengan  nalar,
mengalahkan  kalangan  suara  minoritas diplomat dan ilmuwan
yang benar-benar melihat Turki atau mempelajari Turki dengan
adil  dan,  seperti  ahli  filsafat  politik  Perancis, Jean
Bodin, yang dapat mencatat:
 
Raja Turki yang memerintah sebagian besar  Eropa  melindungi
ritus  agama  dan  para  pangeran  di  dunia  ini. Dia tidak
memaksa seorang pun, tetapi justu  mengizinkan  orang  untuk
hidup  sesuai  dengan  panggilan  jiwanya.  Lebih  lagi,  di
istananya di Pera ia mengizinkan praktek empat macam  agama,
Yahudi,  Kristen  menurut  ritus  Roma,  dan  menurut  ritus
Yunani, serta Islam.[6]
 
Ancaman Utsmaniyah memberikan kontribusi  pada  perkembangan
"Eropa" sebagai pusat identitas dari ikatan bersama di dalam
Kristen Eropa yang terpecah-pecah sebagai akibat  reformasi.
Karena itu,  "Erasmus  mendesak  bangsa  Eropa    tidak lagi
menyebutnya  sebagai  kekuatan  Kristen-   untuk   memerangi
Turki."[7]
 
Kekuasaan    dan   keagungan   Utsmaniyah   terjadi   berkat
perkembangan sistem pelatihan para pemuda dalam  kemiliteran
dan administrasi. Hal itu menghasilkan birokrasi dan militer
kelas satu yang  benar-benar  bertumpu  pada  para  ulamanya
serta  satuan  pejabat  dan  tentara  budak  elite, Janisari
(salah satu  bagian  invanteri  Turki  -  penerjemah).  Para
pemuda   Kristen   diambil   dari   penduduk   Balkan   yang
ditaklukkan, dan setelah itu  dari  Anatolia,  mereka  masuk
Islam dan dikirim ke sekolah-sekolah khusus yang melatih dan
menghasilkan   bergenerasi-generasi   pejabat    Utsmaniyah.
Gabungan  pejabat  yang  berkualitas tinggi dan militer yang
terlatih dan berdisiplin dan mampu memantaatkan serbuk mesiu
menjadikan  Utsmaniyah  dapat menaklukkan wilayah besar Arab
dan Eropa: "Disiplin dan daya tembak tentara inilah (tentara
Utsmaniyah  menggunakan artileri dan senjata tangan...) yang
menciptakan citra keperkasaan  dan  kekuatan  Utsmaniyah  di
Eropa.[8] Kira-kira  delapan  ratus  tahun  setelah  ancaman
pertama Arab ke Eropa, Islam, yang  kini  berada  di  tangan
Turki,  tampak  lebih  mengancam.  Setelah menguasai Balkan,
tampaknva mereka siap menguasai Eropa Barat. Sejak abad  ke-
15 hingga 17 pasukan Utsmaniyah tampaknya terlalu kuat untuk
kaum Kristen Eropa. Namun kekalahan angkatan laut Utsmaniyah
di  Lepanto  pada  tahun  1571  merupakan  titik  balik yang
dianggap sebagai kemenangan  Kristen  Eropa  melawan  Muslim
Turki,  dan  keberhasilan  pertahanan  Wina  pada tahun 1683
memperkuat  runtuhnya  ancaman  Utsmaniyah  dan   pergeseran
kekuasaan  ke  tangan  Eropa  yang  kini  percaya  diri  dan
memperoleh kekuatannya  kembali.  "Bencana  Kristen"  segera
menjadi "orang sakit Eropa."[9]
 
Perang Salib dan kerajaan Utsmaniyah jelas menunjukkan bahwa
walaupun akar teologis Kristen dan Islam  sama,  kepentingan
politik  dan  agama yang terus bersaing menghasilkan sejarah
konfrontasi  dan  peperangan  dimana  Eropa  Kristen  selama
berabad-abad  sering  bertahan terhadap tentara Muslim, yang
tampaknya kadangkala bertempur demi eksistensinya.
 
Catatan kaki:
[5]: Ibid., hlm. 147.
[6]: Ibid., hlm. 151.
[7]: Ibid., hlm. 148.
[8]:
Bosworth, "Historical Background," hlm. 25.
[9]: Ibid., hlm. 139.Sumber. 

1 comment:

  1. ini translate dari buku the islamic threat, myth r reality? yang second edition kan...

    ReplyDelete